Mbah Buminoto Mandiraja Keturunan Raja yang Menanggalkan Keningratan dan Melebur Bersama Rakyat




Oleh : Husni Mubarok Al Qudusi


Di kabupaten Pemalang menyimpan banyak kisah masa lalu yang kebanyakan masih belum dikenal dan hanya melegenda jadi cerita masyarakat. Salah satunya kisah tentang Syeikh atau Pangeran Buminoto yang makamnya terletak di desa Mandiraja Kecamatan Moga, Pemalang.


Mandiraja adalah sebuah desa berhawa sejuk di sisi utara kaki Gunung Slamet, diapit Kali Paingen di sebelah timur dan Kali Rambut di sebelah barat.


Jejak kesejarahan tentang Buminoto sendiri masih sedikit diketahui. Hanya sekelumit tentang Buminoto diceritakan bahwa beliau adalah putra dari Amangkurat III atau Amangkurat Mas, raja terakhir Mataram Islam yang bertahta di Keraton Surakarta (Solo).


Amangkurat Mas adalah anak dari Amangkurat Amral atau Amangkurat II, Amangkurat Mas cucu dari Amangkurat Agung atau Amangkurat I adalah raja ke-4 sekaligus putra dari Sultan Agung Hanyokrokusumo, Raja Terbesar Mataram Islam. Selengkapnya silsilah beliau adalah Amangkurat Agung putra Sultan Agung putra Panembahan Hanyokrowati putra Panembahan Senopati Sutawijaya pendiri Mataram Islam. Dari jalur ayahnya beliau masih keturunan Sunan Giri melalui Nyai Sabinah ibunya Sutawijaya. Sedangkan dari jalur ibunya yaitu Ratu Batang, beliau adalah keturunan dari Sunan Gunung Jati. Memang keluarga Nusantara saling kawin-mawin antara keluarga Kerajaan dan Keulamaan. Sejatinya bersaudara baik dari jalur ayah maupun ibu. Sehingga selain berdarah umaro sekaligus ulama.


Dikisahkan dalam Buku Babad ing Sakala bahwa Amangkurat III berebut tahta dengan Pangeran Puger yang merupakan paman Buminata. Puger akhirnya berhasil merebut kerajaan Mataram dibantu penjajah VOC Belanda. Sementara Amangkurat III ditangkap VOC dan dijatuhi hukuman pengasingan ke Sri Lanka.


Ketokohan Buminoto


Gelar yang disematkan pada Buminoto ada yang menyebut raden, sunan, prabu dan pangeran. Maklum saja gelar tersebut disandangnya karena beliau memang keturunan raja Mataram ke-6 yang berkuasa sekitar 1703-1705 M.


Ibu dari Buminoto bernama Raden Ayu Himpun. Buminoto, khususnya warga Mandiraja, mengenalnya sebagai priyayi, ulama-santri, bahkan wali. Juga dikenal sebagai pejuang Islam dan pemimpin di wilayah Pemalang, estafet meneruskan kepemimpinan ayahnya yang diasingkan VOC Belanda.


Menanggalkan Keningratan dan Melebur Bersama Rakyat


Perjalanan hidup Buminoto diwarnai oleh sejumlah peristiwa yang unik untuk diketahui. Kemewahan istana sempat ia alami, namun juga kepedihan karena ditinggal ayah menjadi penyeimbang yang menggerus rasa nikmat sebelumnya. Rasa sedih yang ia rasakan kemudian ditahannya, dan ditutupi dengan serangkaian kerja menempa diri, pikiran, dan hati. Ia menyibukkan diri bertarak brata, memperdalam ilmu kanuragan, dan menderas kitab-kitab ajaran Islam dan leluhur.


Perjalanan yang ditempuh Buminoto mengambil jalan yang berbeda dengan ayah dan kakeknya. Keruhnya konflik Mataram yang menyebabkan ayahnya diasingkan di Sri Lanka tak lantas membuatnya menaruh dendam dan ingin merebut kembali tahta Mataram.


Disebutkan setelah dirinya mendapatkan tugas untuk menggempur VOC di Batavia, ia tak kembali ke Kotaraja. Pertempuran yang dapat dipatahkan oleh Kompeni dan keadaan Mataram yang berkonflik membuatnya merubah rencana kepulangannya. Ia sadar betul, pasca kekalahan ayahnya, keluarganya diburu oleh penguasa Mataram yang baru dengan bantuan VOC. Maka Buminoto memutuskan untuk mencari tempat yang jauh dari intaian Belanda dan mata-mata kerajaan.


Mandiraja, perdukuhan kecil di Pemalang yang masih sepi dari kepadatan lalu lalang manusia dipilih Buminoto untuk melakukan pemugaran batin. Di sana ia menjabarkan ajaran-ajaran tauhid dan fiqih kepada masyarakat setempat. Buminoto dikenal sebagai kyai dan menyembunyikan keningratannya.


Ia benar-benar keluar dari identitasnya sebagai putra raja dengan membaur bersama rakyat biasa, mendobrak sekat-sekat keningratan dan feodalisme Jawa. Buminata mencoba mencintai tanah Jawa dan rakyatnya bukan lagi  menjadi raja dengan bayang-bayang keris dan pedang, melainkan di bawah naungan Al-Quran dan ajaran Nabi Muhammad SAW.


Spiritual Buminata


Bahwa Buminoto mengajarkan tasawuf Jawa yang dikenal dengan istilah ilmu tauhid. Buminoto menggunakan nama Ilmu Tauhid untuk melabeli ajaran tasawufnya yang meliputi rangkaian cara bagaimana seorang hamba menjadi insan paripurna yang menjuruskan seluruh daya dan upaya hanya untuk Allah. 


Tasawuf yang diajarkan Buminoto mengambil bentuk pada metode penyucian jiwa berbasiskan sikap pasrah dan permohonan ampun kepada Allah.


Medan dakwah yang dijalani Buminoto menyasar pada para petani yang secara umum beraktivitas di pagi sampai siang hari. Untuk itu, pengajiannya diselenggarakan di waktu-waktu tertentu, menyesuaikan dengan keadaan sekitarnya. Tindakan Buminoto juga diikuti oleh pengikutnya, para mantan pasukan Mataram yang menyertainya dengan setia. Setelah tidak lagi berperang, Buminata memerintahkan mereka untuk membantu meringankan kesusahan warga dengan membangun fasilitas umum.


Mengabdi di Mandiraja adalah jalan sunyi yang dipilihnya. Di kala semua pangeran Jawa sedang berebut kursi kuasa, Buminoto memilih meninggalkan riuhnya panggung politik di Kotaraja. Ia tak lagi menginginkan kemegahan duniawi, ia memilih menjadi pamong dan guru masyarakat. Bagi Buminoto, politik adalah melayani masyarakat tanpa memandang kasta atau kelas.


Kisah awal mula kedatangan Buminoto di Pemalang sendiri sangat minim informasi babakan ceritanya. Namun setelah menetap di Pemalang, ia beranak pinak mempunyai keturunan dan kebanyakan di klaim sebagai nenek moyangnya masyarakat desa Mandiraja


Ada pun anak keturunan Buminoto yang disebutkan dari beberapa sumber catatan yakni: Kia Ronggo Rajegwesi (Palangnegoro), Kiai Ronggo Bumiwerah Plempoan (Randudongkal), Kiai Keboduk (Bojong Nangka Pemalang), Kiai Kebogadung (Tangerang), Nyai Alus (Mandiraja), Kiai Petinggi Wira Negara, Pekarangan Pemalang, dan Kiai Nayantaka Kusuma atau dikenal dengan nama Ki Dadung Awuk (Mandiraja).


Waallahu Alam 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HABIB BA'ALWI, KAUM PENGECUT DI HARI PAHLAWAN

Awas Jebakan Fisik Sekte Tobrut-tobrut

Mengapa Hasil Penelitian KH Imaduddin yang Penting, Bukan Siapa Beliau