Bisakah Sebuah Batu Nisan Untuk Mengitsbat Nasab..??




Oleh : Husni Mubarok Al Qudusi


Batu nisan merupakan salah satu bagian dari budaya dan tradisi penguburan dalam berbagai agama dan kepercayaan, termasuk agama Islam, Kristen, dan Yahudi. Batu nisan memiliki berbagai fungsi, di antaranya: Tanda kubur, media untuk mengekspresikan kebudayaan, juga bukti penentuan awal masuknya Islam ke Nusantara, bukti bahwa ajaran Islam dipahami dan dapat dikembangkan menjadi seni.


Batu nisan dapat menjadi peninggalan arkeologi yang mengandung informasi tentang ruang, waktu, dan bentuk. Informasi tersebut dapat berupa:


1. Ruang, karena nisan tidak dapat dipindahkan jauh dari tempat aslinya

2. Waktu, karena nisan dapat memuat keterangan tentang tanggal

3. Bentuk, jika nisan memiliki pola hiasan yang kompleks


Batu nisan juga dapat menjadi media untuk mengekspresikan kebudayaan, seperti pada nisan khas Bugis Bone yang berbentuk mengerucut dan memiliki berbagai variasi bentuk, juga kebudayaan khas Jawa pra dan pasca Walisongo bentuk nya berbeda itu pun tiap era penguasa kerajaan yang baru bentuk serta polanya berbeda-beda dengan yang lama.


Batu nisan dapat dibuat dari berbagai bahan, seperti batu alam, beton, dan komposit batu.


Leluhur kita dalam kebudayaan semisal Jawa memandang kuburan bukan sekadar gundukan tanah dan tempat menimbun orang mati. Bila kuburan dianggap sepele, tidak mungkin para cendekiawan Jawa masa lampau menelurkan sinonim kuburan lebih dari lima, yakni kramatan, makaman, hastana, pasarean, dan jaratan.


Dari kilas balik ini, kita disadarkan bahwa kuburan komplit dengan nisan maupun kijing bukan sekadar penanda identitas dan status sosial orang yang dikubur, tapi juga bentuk penghormatan manusia yang hidup kepada mereka yang telah meninggal.


Sepanjang sejarah, kuburan hampir tidak pernah dikorbankan dalam jagat politik dan dirusak. Banyak orang takut kualat jika bertindak demikian, namun dari Klan Ba'alwi rasis keturunan asal Yaman yang di era milenial terbongkar dan ketahuan membelokan serta merusak makam leluhur bahkan membuat sejumlah makam-makam palsu yang bertujuan untuk kepentingan mereka.


Di Jawa, makam justru dirawat melalui tradisi budaya nyadran warisan sisa masalalu. Ringkasnya, ritual nyadran bukanlah ajang hura-hura atau berbau klenik, namun mengingatkan akan kematian dan memposisikan kuburan sebagai bukti sejarah.


Kuburan dan batu nisan mampu meronce tali sejarah keluarga agar tidak terhapus dalam ingatan generasi sesudahnya.


Lalu ada pertanyaan apakah batu nisan dapat untuk menentukan suatu nasab seseorang..?? Bahwa belum di temukan seorang pun ahli nasab yang menetapkan nasab seseorang atas dasar batu nisan. Sudah disinggung di atas bahwa batu nisan itu ekspresi seni, jadi tiap masa ada ciri khas tertentu. Juga sangatlah lemah karena bisa jadi ada pertukaran atau asimilasi budaya, semisal ada orang Jawa meninggal dunia namun nisanya didatangkan dari negri yang jauh semisal Aceh. Hari ini pun kita bisa membuktikannya ada orang Indonesia namun nisanya bergaya maupun di datangkan dari negri Eropa atau China.


Dr. Abdurrahman bin Majid al-Qaraja di dalam kitabnya Al-Kafi al­ Muntakhob mengatakan:


"(Sejarawan) tidak boleh didahulukan dari penetapan ahli nasab khususnya jika ahli nasab itu lebih dekat masanya atau tempatnya" (Al-Kafi al­ Muntakhab, h. 71).


Ketahuilah bahwa ada sejumlah pakem (kaidah) metode untuk menetapkan nasab seseorang, menurut Kitab Rasa'il Fi 'Ilm Al Ansab karya Syaikh Al-Husain Bin Haidar Al-Hasyimi yang di syarahi oleh KH Imaduddin Utsman Al Bantani di sebutkan ada 7 yaitu ;


1. Metode ltsbat Nasab Pertama: Al Syuhrah Wa Al Istifadlah


Syekh Al-Hasan mengatakan: "Ulama nasab menghitung ada lima metode dalam menetapkan nasab: pertama, adalah dengan "istifadlotunnasab" (menyebarnya nasab) dan "syuhratunnasab" (populamya nasab) di desanya dengan popular yang membuahkan keyakinan dan dengan menyebar antara manusia yang bisa terjadi keyakinan dengan berita mereka, atau dugaan  kuat, dan aman dari kemungkinan kesepakatan mereka untuk berdusta, dengan disertai tidak adanya dalil yang menentang. Dan Istifadlah yaitu Al-Tasamu ' (saling dengar-mendengar) ia termasuk hal-hal yang paling nampaknya  bukti, dan ada alasan untuk memberitakannya.  Ulama  memilih  istifadlatunnasab dengan tasamu ', karena nasab itu adalah sesuatu yang tidak ada jalan masuk untuk melihat langsung"


Dikatakan dalam Kitab Nihayatul Muhtaj juz 8 h. 319 karya Imam Ramli:


"Dan boleh baginya bersaksi dengan tasamu ' ketika tidak  ada penentang yang lebih kuat dari tasamu', seperti inkarnya orang yang dinisbahkan, atau adanya tha'n (celaan) seseorang dalam nasab itu. benar hukum demikian bahwa tasamu ' gugur dengan adanya inkar dan Lha 'n, tetapi menurut pendapat yang kuat, bahwa disyaratkan tha 'n itu  tidak disertai tanda-tanda kedustaan orang yang menyampaikannya"


lbnu Hajar Al-Asqalani berkata:


"Sesungguhnya nasab adalah sebagian dari yang bisa ditetapkan dengan metode istifadloh kecuali telah sohih sesuatu yang menentangnya" (Al­ Jawab al-Jalil : 47)


Maksud Syuhrah Wa al-Istifadlah adalah Min Adzhar al-Bayyinat, Kalimat Syekh Al-Hasan bahwa syuhrah wal istifadlah adalah "min adzhar al Bayyinat", bukan bermakan bahwa syuhrah itu dalil paling kuat. Bukan. Jika yang diinginkan maksudnya adalah "paling kuat"  maka kalimatnya adalah "min aqwal bayyinat". Adapun maksud "min adzhar al­ bayyinat"  adalah yang "paling nampaknya  bukti" atau "bukti paling mudah di akses". Artinya bukti yang paling mudah dicapai oleh orang untuk mengetahui nasab seseorang. Kita tidak perlu sulit-sulit menanyakan akta kelahirannya, hasil dengar mendengar saja sudah cukup untuk mengatakan bahwa Samsul adalah anak Samlawi. Artinya jika kita mengatakannya kita tidak dianggap berdusta atau tidak bisa dituntut di pengadilan.


Hakikat kesaksian itu seharusnya adalah apa yang dapat dilihat, tetapi ulama membolehkan  beberapa hal untuk dikatakan sah kesaksiannya  hanya berdasar syuhrah atau dengar-mendengar, diantaranya adalah nasab, pernikahan, jima, kematian dan pengangkatan sebagai hakim. Karena masalah-masalah tersebut  biasanya hanya diketahui oleh orang-orang terdekat dengan seseorang. Jika tidak dibolehkan bersaksi dengan syuhrah, maka akan membawa dampak negative yaitu  banyak kekosongan hukum karena tidak bisa mencari saksinya (lihat Fiqhul Islam wa adillatuhu, 8/282).


Syuhrah wa al-Istifadlah boleh dijadikan tools untuk bersaksi hanya karena darurat. Karena ada beberapa hal yang sulit untuk disaksikan dengan mata secara langsung diantaranya tentang nasab dan kematian. Tentang kebolehan bersaksi dengan syuhrah ini  dihikayatkan  adanya  ijma'.  Ijma' yang dimaksud itu adalah ijma tentang kebolehan penggunaan metode syuhrah, bukan ijma tentang bahwa nasab harus diijma' dengan  syuhrah. Orang yang menyatakan demikian, seperti Idrus Ramli, menunjukan kebodohan yang nyata dalam Ilmu Fikih.


"Boleh baginya bersaksi  dengan tasamu' terhadap nasab dengan ijma'. karena nasabnya tidak bisa dilihat dengan mata. Yang mungkin bisa dilihat adalah kelahiran di ranjang, maka cukuplah dalam nasab itu dengar­ mendengar. Hal itu boleh walau orang itu tidak mengenal mansub ilaih (seperti ayahnya). Keterangan itu diceritakan dalam kitab Al-Kifayah. Semua ketentuan itu berlaku bilamana tidak ada keraguan. Apabila keraguan itu ada, contohnya orang yang menjadi Al-M ansub ilaih itu masih hidup lalu mengingkarinya, maka tidak diperbolehkan untuk bersaksi. Maka jika mansub ilaih itu gila, boleh ia bersaksi menurut qaul sahih. Ketika sebagian orang mencela nasab tersebut maka tidak diperbolehkan bersaksi tentang nasab itu menurut qaul asoh" (Al-Najm al-Wahhaj, Juz 10 halaman 356).


Istifadlah atau Tasamu' wajib terjadi di kampung asal bukan di tempat hijrah, Syekh Al-Hasan bin Haidar al-Hasyimi mengatakan:


"Dan wajib diingat bahwa sesungguhnya istifadlah itu wajib terjadi di desanya atau di kabilahnya bukan (seperti) yang dikira (banyak orang) yaitu istifadlah di tempat hijrahnya"


Maksudnya, syuhrah istifadlah itu harus di Negara asal, bukan di daerah tempat ia berhijrah (pindah).


2. Metode ltsbat Nasab Kedua Adalah Kitab-kitab Nasab


Syekh Hasan mengatakan:


"Cara kedua adalah dengan menggunakan kitab-kitab para ahli nasab yang abdal, ulama-ulama terpercaya, para ahli tahqiq yang terkonfirmasi, yaitu kitab-kitab yang tidak tidak disentuh oleh tangan-tangan amatir  yang sembrono, orang-orang lemah yang ditinggalkan, para pemalsu yang pendusta. Apalagi jika kitab nasab itu telah telah popular dan tersebar. Jika kitab itu masih berupa manuskrip maka wajib untuk diverifikasi dan dibandingkan antara satu manuskrip dengan manuskrip lainnya"


Cara menetapkan nasab kedua adalah dengan kitab-kitab para ahli nasab yang abdal. Apa yang dimaksud ahli nasab yang abdal? Syekh Hasan mengatakan:


"Al-abdal adalah mereka yang saling bergenerasi menggantikan sebagian mereka kepada yang lain" (Rasa 'il h. 193).


Apa arti menggantikan dari satu  generasi ke generasi lainnya? Artinya, misal kitab nasab abad sembilan Hijriyah  adalah  kelanjutan  dari kitab nasab abad kedelapan, kitab nasab abad kedelapan adalah kelanjutan dari kitab nasab abad ketujuh, kitab nasab abad ketujuh  adalah  kelanjutan dari kitab nasab abad ke enam dan seterusnya. Kitab yang lebih belakangan (muda) tidak boleh bertentangan dengan kitab yang terdahulu (tua). Inilah yang dimaksud kitab sezaman atau yang mendekatinya.


Dalil kitab sezaman, dalam Kitab Ushulu 'Ilmi al Nasab wa al-M ufadlalah Bain al-Ansab karya Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani halaman 76-77 dikatakan:


"Dan ketika kita men-tahqiq nasab, maka sumber-sumber yang memungkinkan kita mengambil darinya, wajib berupa kitab-kitab nasab terdahulu yang ditulis sebelum masa modem, yaitu ketika orang lebih dekat mengetahui keturunan mereka"


Dalam Kitab "Dalil Insya 'I wa Tahqiqi Salasili al Ansab" karya Dr. Imad Muhammad al-'Atiqi dikatakan:


"Marji' (Referensi) berbeda dengan mashdar (sumber), yaitu bahwa mashdar lebih dekat waktu, tempat, dan lingkungannya dengan peristiwa yang diceritakannya. Adapun marji' berbeda dengan mashdar pada beberapa atau seluruh unsur sebelumnya. Maka penulis marji' membutuhkan mashdar dan sumber lain yang primer untuk melengkapi penelitiannya. Oleh karena itu, mashdar lebih laik dihitung apabila terjadi pertentangan dengan marji', kecuali jika marji' tersebut memuat analisis yang cermat yang membantah kontradiksi melalui mashdar atau bahan-bahan primer lainnya". (kitab Dali! Insya 'Iwa Tahqiqi Salasili al Ansab h. 58).


Dalam kitab Siyar A'lam al Nubala (di muqaddimah) dikatakan:


"Dari sisi menguatkan hadis-hadis dan riwayat, Al-Dzahabi mempunyai perhatian dengan mengutip sanad-sanad yang terdapat dalam sumber-sumber hadis tersebut. Ia tidak mencukupkan diri dengan hanya menyebut sumbemya saja. Ini adalah metode yang membantunya untuk mendahulukan sumber-sumber asli yang dikutip oleh referensi, dan yang dipersiapkan untuk itu ( h. 125).


Dalam kitab Al-'Ibar karya  lbnu Khaldun dikatakan:


"Dan banyak para sejarawan, ahli tafsir dan para imam-imam perawi terjadi kesalahan dalam hikayat-hikayat dan kejadian-kejadian karena mereka berpatokan dengan hanya mengutip tidak peduli yang rusak atau  yang baik. Mereka tidak memverifikasinya kepada sumbemya dan tidak mengukumya dengan serupanya dan tidak menelitinya dengan standar ilmu dan berdiri terhadap kebiasaan alam semesta dan menguatkan pemikiran dan bashirah dalam berita-berita maka mereka tersesat dari kebenaran dan bingung dalam lapangan dugaan dan kesalahan" (Al-Ibar, Al-Maktabah al Syamilah juz 1 h. 13).


Syekh Khalil Ibrahim dalam kitab Al Muqaddimat fl 'Ilm al Ansab:


"Syarat menjadikan kitab nasab sebagai pegangan adalah pertama ia tidak boleh berbeda dengan kitab-kitab asal" (Muqaddimat: h. 58)


Dr. Abdurrahman bin Majid al-Qaraja dalam kitabnya Al-Kafi al­ Muntakhob mengatakan:


"(Sejarawan) tidak boleh didahulukan dari penetapan ahli nasab khususnya jika ahli nasab itu lebih dekat masanya atau tempatnya"  (Al-Kafi al­ Muntakhab, h. 71).


Menemukan manuskrip, Jika ada orang mengaku menemukan mansukrip  yang  tidak ditemukan orang lain dengan angka tahun tua maka tidak serta merta bisa diterima. Syekh Hasan bin Haidar mengatakan:


"Adapun jika  kitab itu masih berupa manuskrip maka wajib diverifikasi dan dibandingkan antara satu manuskrip dan manuskrip lainnya. Ketika diketahui tulisan ahli nasab yang ahli tahqiq dan terpercaya maka tulisan itu bisa digunakan"


Jadi, pengakuan manuskrip itu harus diverifikasi pertama dengan metode study teks dan intertekstualitas lalu dilihat dari sisi media yang digunakan. Harus diketahui pula siapa  yang  menulis, tahun berapa ditulis, dan selama ini manuskrip tersebut tersimpan di mana.


3. Metode Ketiga Bayyinah Syar'iyyah/Syahadah


Syekh Hasan mengatakan:


"Metode ketiga adalah adanya "Al-bayyinah al-Syar 'iyyah" (bukti yang sah secara syari'at), yaitu syahadat (kesaksian). Maka dua orang yang adil yang dikenal keadilannya bersaksi atas benarnya pengakuan (nasab)."


Kesaksian dua orang saksi ini bisa dilakukan untuk kesaksian orang yang hidup hari ini. Misalnya tidak bisa untuk mengitsbat Ubaid yang hidup seribu tahun lalu. Syekh Khalil Ibrahim mengatakan tentang Al-bayyinah al-Syar 'iyyah dalam kitabnya Muqaddimat fl'ilmi al-Ansab:


"Aku berkata sesungguhnya masalah ini (Al-Bayyinah al-Syar 'iyyah) bukan untuk menetapkan nasab qabilah-qabilah, tetapi digunakan untuk menetapkan nasab anak kepada ayahnya." (M uqaddimat, 62).


4. Metode Mengitsbat Nasab Keempat: Al-l'tiraf dan Iqrar dari Sebuah Kabilah


"Cara yang keempat adalah sebuah qabilah meng-I'tiraf dan meng-iqrar bagi individu atau komunitas tentang benar dan sahnya nasabnya. Maksud karni dengan komunitas adalah salah satu tingkatan nasab. peng-I'tiraf-an dan peng-ikrar-an sebuah kabilah seperti itu karena adanya istifadlah dalam kabilah itu. dan tidak bernilai kesaksian yang syadz (beda sendiri), seperti tidak bernilainya kesaksian pemimpin kabilah secara sendiri apalagi ia bodoh tentang nasab dan berita."


Menurut para ulama, metode ini digunakan untuk mengitsbat orang yang masih hidup seperti sebuah klan mengakui seseorang  merupakan bagian dari klannya. Jadi, jika ada sebuah klan, contohnya Ba'alwi mengakui bahwa Bahar Sumait adalah merupakan bagian dari Ba'alwi, maka sah lah Bahar Sumait ini sebagai Ba'alwi. tetapi bukan  untuk  meng-itsbat orang yang telah wafat seribu tahun seperti Ubaid moyang Ba'alwi.


Menurut Syekh Khalil Ibrahim dalam kitab Muqaddimat, metode I 'tiraf dan iqrar ini pula tidak bisa mengitsbat nasab yang jauh. Ia digunakan hanya untuk nasab orang yang hari ini hidup:


"Aku berkata, sesungguhnya masalah ini tidak menentukan nasab kabilah­-kabilah tetapi ia menentukan nasab seseorang yang diragukan kesahihannya. Maka ketika seorang ayah ber-I'tiraf dan ber-ikrar bahwa ia bapak dari anak ini maka anak ini di-itsbat kepadanya dan kepada nasabnya." (Muqaddimat, h. 62).


5. Metode Mengitsbat Nasab Kelima: I'tiraf dan Iqrar dari Seorang Ayah


"Metode yang kelima adalah I 'tiraf atau iqrar seorang laki-laki yang berakal bahwa fulan  adalah anaknya. Dan orang yang diaku haruslah orang yang pantas diakui (sebagai anak) untuk pengaku. Dan tidak ada penghalang (untuk pengakuan itu)."


Cara I'tiraf dan ikrar seorang ayah kepada anak ini pula menurut Syekh Khalil Ibrahim, digunakan untuk orang yang masih hidup bukan untuk orang yang sudah ribuan tahun wafat.


6. Metode ltsbat Nasab Keenam: Al-Qur'ah


Al-Qur 'ah (diundi) digunakan sebagai itsbat nasab berdasarkan hadits Zaid bin Arqam ia berkata:


 "Aku duduk di sisi Nabi SAW maka datanglah seorang laki-laki dari Yaman maka ia berkata bahwa tiga orang dari Yaman datang kepada Ali KW mengadukan sengketa hukum anak kepadanya, mereka telah  menjima' seorang wanita dalam satu masa suci. Maka Ali berkata kepada dua orang, relakanlah anak untuk orang ini, maka kemudian dua orang itu tidak mau dengan bergolak. Maka kemudian Ali berkata kepada dua orang, relakanlah anak itu untuk orang itu, maka  keduanya tidak mau, Maka kemudian Ali berkata kepada dua orang, relakanlah anak itu untuk orang itu, maka keduanya tidak mau, maka Ali berkata, kalian bersama-sama orang yang bertengkar, aku akan mengundi di antara kalian, maka barang siapa keluar undianya anak ini miliknya, dan ia harus membayar 2/3 diyat bagi yang lain, maka kemudian Ali mengundi di antara mereka, maka ia menjadikan anak itu bagi yang keluar undian. Maka Rasulullah tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya."


7. Metode Itsbat Nasab Ketujuh: Qiyafah


"Cara yang ketujuh adalah qiyafatul basyar. Yaitu mengitsbat anak kepada ayah berdasarkan sifat-sifat yang saling serupa, dan menghukumi tetapnya nasab berdasarkan petunjuk-petunjuk anggota badan. Keadaan qiyafah sama dengan keadaan saksi yang adil."


Secara bahasa qiyafah artinya "tatabbu 'ul atsar wa al- syibhi" (mengikuti tanda dan keserupaan). Jika seorang ayah ragu akan anaknya maka ia bisa memanggil ahli qiyafah untuk melihat keserupaan antara ayah dan anak pada anggota badan tertentu misalnya tapak kaki, lalu ahli qiyafah menentukan apakah anak ini benar anaknya atau bukan. Para ahli fikih memperbolehkan qiyafah kecuali madzhab hanafi. Para ulama yang membolehkan berdasarkan hadits Aisyah RA:


"Sesungguhnya Rasulullah masuk kepadanya dalam keadaan gembira bercahaya garis-garis wajahnya kemudian ia berkata, "apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakan Al-Mudliji tentang Zaid dan Usamah? Ia telah melihat tapak kaki keduanya bahwa sebagian kaki ini adalah bagian dari lainnya" (H.R. Bukhari).


Selain ketujuh metode pengitsbat nasab itu, para ahli nasab modern mempertimbangkan hasil tes DNA sebagai acuan pengitsbatan nasab.


Metode Yang Ditetapkan Ahli Biologi, "Sebuah Metode Yang Disetujui Oleh Para Ahli Biologi. Para ahli biologi menyetujui metode-metode di atas, dan menambahkan tes-tes laboratorium genetis ke dalamnya, dan para ahli nasab mengikutinya dalam hal itu. Yang benar-benar dapat diandalkan tanpa perselisihan adalah tes-tes laboratorium yang membuktikan bahwa si fulan berkerabat dengan ayah dekatnya atau dengan kakek dekatnya. Sedangkan bagi yang kembali ke garis keturunan jarak jauh, para ahli nasab  belum menganggapnya qat'iy, ia hanya sebagai penenang jiwa, mengingat penelitian di bidang ini masih dalam tahap awal, dan belum ada undang-undang yang diatur secara lengkap sampai saat ini­ sehingga bisa dijadikan pegangan."


Menurut Syekh Al-Hasan, menetapkan hubungan biologis anak kepada ayahnya dengan metode tes DNA sudah qot'i. Tetapi  untuk mengetahui hubungan biologis antara anak dan keturunan jauh masih hanya sebatas pendukung untuk menguatkan saja. Perlu diketahui, kitab Rasa'il tersebut dikarang sekitar tahun 2013 ketika jumlah sampel para orang yang melakukan tes DNA termasuk yang mengaku keturunan Nabi Muhammad SAW belum banyak seperti sekarang ini. namun hari ini telah dapat dipetakan kelompok-kelompok genetic tiap-tiap kelompok suku di seluruh dunia.


Dalam kitab Muqaddimat fi 'Ilmi al-Ansab Syekh Khalil Ibrahim menyajikan tulisan pakar DNA Arab, Professor Ubaedillah (h.178). dalam tulisan tersebut, Prof. Ubaedillah menyatakan bahwa :


"Tes DNA telah mampu membongkar orang yang mengaku keturunan Ahlibait dengan palsu dan dusta. Hal itu ketika hasil tes DNA mereka menunjukan bahwa mereka adalah dari keturunan Persia dan Kaukasus. Maka  tidak aneh mereka memerangi ilmu tes DNA ini dalam situs-situs mereka. Berbeda dengan hasil tes DNA para Asyraf lain yang terkenal yang sama dan dekat dengan DNA Adnan."


Prof Ubaidillah juga mengatakan:


"Tes DNA bukan hanya perusahaan dagang seperti dugaan sebagian orang, tetapi ia adalah suatu disiplin ilmu, sudah ada ilmuan dibidangnya dan mempunyai istilah-istilah dan referensi-referensi sejak dulu. Setiap perusahaan-perusahan ini di bawah pengawasan perkumpula ilmuan genetic internasional yaitu International Sociate of Genetic Genealogi (ISOGG)''


Prof Ubaidillah juga mengatakan:


"DNA adalah stempel yang dijadikan pegangan di masa depan. Ia adalah hukum pasti bagi pengakuan nasab perorangan atau kelompok. Dan akan membawa keengganan untuk meneliti surat-surat dan manuskrip­ manuskrip sejarah masa lalu yang berkaitan dengan nasab. DNA pula akan menggantikan stempel para syekh dan ahli nasab karena ilmu nasab adalah ilmu riwayat yang bersifat dzanni... ilmu DNA akan merubah ilmu nasab dari ilmu dzanni yang bersifat tarjih yang terkadang terjadi pemalsuan menjadi ilmu yang rasional yang terhormat yang berdasar hasil-hasil tes yang presisi yang tidak akan salah dengan kekuasaan, hikmah, dan pengaturan Allah Azza wajalla". (h.179)


Prof. Ubaidillah mengatakan:


"Haplogroup adalah kumpulan besar haplotype. Haplotype adalah kumpulan mutasi-mutasi yang ditemukan bagi sebuah gen yang diwarisi apa adanya pada kromosom Y. Haplogroup dapat mencari keturunan genetic garis laki ribuan tahun ke atas... haplogroup  dengan  semua cabang-cabang dan mutasi-mutasinya akan naik di suatu masa kepada satu individu yaitu kakek bersama genetic." (h.179)


Prof Ubaidillah menyatakan:


1. Haplogroup A: adalah haplogroup untuk keturunan bangsa Etiopia, Sudan,

2. Haplogroup B: Afrika

3. Haplogroup C: India, Srilangka, Asia Tenggara,

4.  Haplogroup D: Asia tengah, Mongoloia, Selatan Asia.

5. Haplogroup E: Afrika.

6. Haplogroup G: Utara Asia Tengah, Pakistan, Afganistan. Haplogroup G Disebut Haplogruop Kaukasus kerena ke luar dari haplo ini 2 % dari penduduk barat laut Eropa, 8-10 %  dari penduduk Asbania, Italia, Yunan, Turki, 30% dari penduduk Georgia dan Azerbaijan, 50% dari penduduk Ositia Utara, 18% dari orang Druze, 10% dari Yahudi Askenazi, dan 20% dari Yahudi Maroko.

7. Haplogroup  R:  Utara laut hitam dari Orasia, Eropa Timur, India, Irlandia.

8. Haplogroup I: Eropa, Viking.

9. Haplogroup H: India Dravida, Pastun, Iran.

10. Haplogroup L: India

11. Haplogroup M: Guinea

12. Haplogroup N: Utara Asia, Cina, Mongolia,

13. Haplogroup  0:  Asia Timur, Cina, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Korea, Jepang.

14. Haplogroup K: Iran, Mesir, Papuanugini.

15. Haplogruop Q: Amerika

16. Haplogroup S: Papuanugini, Indonesia, Melanesia

17. Haplogroup T: Iran, Mesir, Afrika.

18. Haplogroup  J: Timur Tengah, Arab Syamiyah.

19. Haplogroup J2: Asia Tengah, Iran, India, Kurdi.


Tentang DNA Arab, Profesor Ubaidillah berkata:


"Setelah meneliti dan melakukan banyak tes dan analisis laboratorium terhadap DNA untuk mengetahui keragaman ras manusia, para peneliti menemukan bahwa warisan genetik Arab termasuk dalam ras tersebut (Jl). Peneliti Profesor Ali bin Muhammad Al- Shehhi mengatakan: Kita dapat memberi nama pada jenis Jl dengan DNA suku Arab. Menurun darinya orang Palestina sebesar 38,4%, di Suriah 30%, di Aljazair 35%, dan di Tunisia 30%, dan pada suku Badui meningkat menjadi 65,6% dan puncaknya mencapai 82. % di kalangan suku Badui di Gurun Negev, dan diketahui asal usul suku Badui di Gurun Nub berasal dari suku Arab asli. Adapun metode yang digunakan untuk menentukan (J 1) sebagai garis keturunan orang Arab: Peneliti DNA mengumpulkan statistik untuk menentukan etnisitas orang Yahudi saat ini, jadi mereka fokus pada sekte Kohenim, yaitu sekte penjaga kuil. seperti yang mereka katakan, mereka adalah keturunan dari Nabi Harun AS. Padahal, sebagaimana diketahui, seorang Yahudi adalah seseorang yang ibunya adalah seorang Yahudi, tetapi seorang Kohenim adalah seseorang yang ayahnya adalah seorang Kohenim yang merupakan keturunan Harun dari pihak ayah... para peneliti menemukan (mayoritas, yaitu) 50% dari kohanim ini berhaplogroup Jl, sedangkan 50% lagi terbagi keberbagai haplougroup yang bermacam­ macam... para peneliti menemukan gen ini juga dimiliki orang Arab. Ini tidak mengherankan karena keturunan Adnan membawa gen kakek mereka Ismail bin Ibrahim AS... para peneliti juga menemukan bahwa gen Ismail bin Ibrahim, dengan dua cabangn ya: Adnani dan Qahtani, terkelompokan ke dalam Jlc3d." (Muqaddimat hal. 189-191)


Hukum Tes DNA untuk memverifikasi keturununan Nabi Muhammad Saw, DNA termasuk masalah baru yang tergolong ke dalam masalah­-masalah yang secara spesifik tidak ada dalilnya dalam Al-Qur'an dan Al­ Hadits. Untuk mengetahui secara syar'i apakah tes DNA boleh dilakukan atau tidak para ulama harus melakukan apa yang disebut "istinbath al­ ahkam" (penggalian hukum) atau ijtihad.


Untuk mengetahui apakah hukum tes DNA untuk memverifikasi keturunan Nabi Muhammad SAW, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu apakah ada kepentingan Syara' untuk mengetahui seseorang apakah keturunan Nabi Muhammad SAW atau bukan. Pertanyaan itu bisa dijawab jika kita mengetahui apakah ada hukum-hukum Syara yang berkaitan dengan keturunan Nabi Muhammad SAW?


Hukum syara yang berkaitan dengan keturunan Nabi Muhammad SAW, di antaranya:


1. Khumus al-fai wa al-ganimah

2. Imamah

3. Zakat

4. Kafa'ah

5. Waqaf

6. Wasiat

7. Nadzar


Harta rampasan perang dibagi lima: 4/5 diberikan untuk para tentara; yang 1/5 diberikan kepada lima kelompok: pertama, masalih al-muslimin (membangun jembatan, gajih ulama, hakim dll); kedua  Bani  Hasyim  dan Bani Muthallib; ketiga, anak yatim; keempat orang miskin; kelima Ibnu sabil. Bagian untuk Bani Hasyim termasuk juga keturunannya hingga hari ini. Maka penting untuk mengetahui siapa saja yang termasuk Bani Hasyim dan Bani Mutholib agar tidak salah ketika memberikan harta khumusul khumus.


Imamah (yang menjadi khalifah) dalam Madzhab syafi'I disyaratkan harus dari Quraisyi. Maka wajib kitab mengetahui apakah yang akan kita jadikan khalifah ini benar dari Quraisy atau tidak.


Bani Hasyim dan Bani Muthallib tidak boleh diberikan zakat. Maka penting untuk mengetahui siapa Bani Hasyim dan Bani Mutholib agar tidak salah memberikan zakat. Kafa'ah Bani Hasyim dan Bani Mutholib tidak sama dengan orang Arab lain, maka penting diketahui siapa yang termasuk Bani Hasyim dan Bani Mutholib.


Jika seorang mewaqafkan harta dikhususkan untuk Bani Hasyim dan Bani Mutholib atau lebih khusus untuk keluarga Nabi Muhammad  SAW, maka wajib wakaf itu dikhususkan untuk mereka, maka penting untuk mengetahui siapa Bani Hasyim dan Bani Mutholib dan siapa keturunan Nabi Muhammad SAW. Demikian juga hukum wasiat dan nadzar.


Setelah kita mengetahui adanya hubungan hukum syara' dengan keturunan Nabi Muhammad SAW, lalu kita menyimpulkan bahwa penggunaan tes DNA adalah salah satu  alat untuk mengetahui keturunan Nabi Muhammad SAW dan setelah kita memahami, sesuai dengan kesimpulan para pakar biologi, bahwa hasil tes DNA ini sangat akurat, maka seharusnya tes DNA ini digunakan sebagai metode pengitsbatan nasab yang harus pertama dilakukan sebelum menggunakan metode lainnya. Karena metode lainnya seperti kitab dan syahadah kemungkinan adanya potensi distorsi dan kesalahan bahkan pemalsuan itu terbuka.


Ketika hasil tes DNA-nya menunjukan bahwa ia adalah orang Arab, maka barulah digunakan metode peng-itsbat-an nasab lainnya seperti verifikasi kitab, syahadah dan iqrar.


Ketika kita wajib mengangkat pemimpin, dan pemimpin wajib dari kaum Quraisy, lalu ketika seorang Quraisy akan dibaiat, kemudian ada yang meragukan nasabnya, maka wajib untuk dilakukan verifikasi nasab itu melalui berbagai jalan termasuk tes DNA untuk menghilangkan keraguan yang akan membawa dampak negative yang lebih besar.


Ibnul Qayyim berkata dalam kitab Al Muwaqi'in juz 3 h. 108:


"Hukum wasilah sama dengan hukum tujuan. Ketika tujuan tidak bisa dicapai kecuali dengan adanya sebab-sebab dan metode-metode yang membawa kepadanya, maka metode-metode dan sebab-sebab itu mengikuti hukum tujuan itu, dan diperhitungkan dengannya. Wasilah-wasilah perbuatan-perbuatan haram dan maksiat dalam kemakruhannya dan pelarangannya  dihitung  berdasar penyampaiannya dan keterikatannya kepada ujung perbuatan haram dan maksiat itu dan wasilah-wasilah perbuatan taat dan pendekatan diri kepada Allah dalam disenangi dan diizinkannya berdasarkan ukuran penyampaiannya kepada ujung perbuatan taat dan pendekatan diri kepada Allah itu. Maka wasilah sebuah tujuan (hukumnya) mengikuti tujuannya".


Waallahu Alam 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HABIB BA'ALWI, KAUM PENGECUT DI HARI PAHLAWAN

Awas Jebakan Fisik Sekte Tobrut-tobrut

Mengapa Hasil Penelitian KH Imaduddin yang Penting, Bukan Siapa Beliau