KH Ahmad Siradj vs Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi Ba'alwi, Siapakah Yang Lebih Bermanfaat Bagi Solo..???





Oleh : Husni Mubarok Al Qudusi

Haul Solo merupakan kegiatan rEutinan yang dilakukan di Solo dan menjadi salah satu gerakan Habaib Ba'alwi Al Kazdabah keturunan Yahudi Ashkenazi imigran dari Tarim Hadramaut Yaman untuk mereduksi kesejarahan para tokoh dan Ulama pribumi.

Haul Solo membranding Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi Ba'alwi sebagai  salah satu ulama besar di dunia (faktanya berkata lain) yang sekaligus penyusun kitab maulid Simtudduror. Ia lahir pada tahun 1259 H atau sekitar 1839 M dan wafat pada tahun 1333 H atau 1913 M. Dimakamkan di Yaman.





Salah satu alasan kenapa haul dari Habib Ba'alwi ini diperingati di Solo, karena ada tiga makam keturunannya yang menjadi tujuan ziarah di Solo, yaitu makam Habib Alwi bin Ali, Habib Ahmad bin Ali, dan Habib Anis, yang semuanya berlokasi di Masjid Riyadh.

Ini sangatlah aneh seseorang yang tidak memiliki kontribusi apapun untuk Solo malah mengklaim sebagai haul Solo, sedang tokoh dan Kiai pribumi yang berkontribusi besar untuk Solo di injak serta dibenamkan kesejarahannya. Ini pola pengkaburan sejarah secara halus yang sangat terstruktur dan masiv.

Adalah KH Ahmad Siradj seorang Ulama besar pada zamannya memiliki banyak santri dan pejuang di Kawasan Solo Raya. Jika beliau disandingkan dengan Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi Ba'alwi terkait kemanfaat dan faedahnya adalah bagaikan lagit dan bumi, karena Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi Ba'alwi itu sangatlah unfaedah bagi kesejarahan Solo.





Dilansir dari situs jateng.nu.or.id menerangkan bahwa. Tokoh yang akrab dengan panggilan Mbah Siradj (baca : Siroj) dari Kota Solo, dikenal sebagai seorang waliyullah yang memiliki berbagai kisah penuh karomah. Semisal, ia memiliki ilmu 'melipat bumi', sehingga perjalanan yang ia tempuh menjadi lebih singkat atau cerita tentang berbagai kekeramatan lainnya.

Dari buku Mengenang Jejak Kyai Ahmad Siroj Sala (1989), diperoleh keterangan ayah Kiai Siradj bernama Kiai Umar atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Pura, salah seorang Waliyullah. Makam Kiai Imam Pura berada di Susukan, Kabupaten Semarang. Kiai Imam Pura ini bila ditarik lebih adalah memiliki garis keturunan dengan Sunan Hasan Munadi, salah seorang paman Raden Fatah yang ditugaskan mengislamkan daerah lereng Gunung Merbabu sebelah utara, atau sekarang dikenal sebagai Desa Nyatnyono. Selain Kiai Siraj, Kiai Imam Pura ini memiliki beberapa keturunan, di antaranya adalah Kiai Kholil yang bermukim di Kauman, Solo, dan Kiai Djuwaidi yang bertempat tinggal di Tengaran, Kabupaten Semarang.

Sosok yang Inklusif

Kiai Siradj dilahirkan pada tahun 1878 M. Secara fisik, penampilan Mbah Siradj cukup mudah untuk dikenali, sebab dalam sehari-hari maupun saat bepergian jauh, ia sering berpakaian khas dengan memakai iket (semacam kain batik yang digunakan untuk menutupi kepala), berbaju putih, bersarung ‘wulung’ dan memakai ‘gamparan’ tinggi. Model pakaian ini agak mirip dengan pakaian yang dikenakan para ulama lain di lingkup Keraton Surakarta, semisal guru Mamba’ul Ulum yang memakai kain batik panjang, baju jas dengan leher tinggi (jas tutup) warna putih, dan memakai blangkon.

Namun, tidak hanya kekhasan dalam berpakaian semata, Mbah Siradj juga dikenal sebagai seorang ulama yang alim, bijaksana dan kharismatik. Setiap ucapannya, konon memiliki sejumlah sasmita (isyarat). Bahkan di wilayah Solo dan sekitarnya, banyak yang menyebutnya sebagai seorang Waliyullah, dengan ilmu dan beberapa karomah yang dimilikinya.

Ia dikenal banyak orang karena sosoknya yang inklusif dan pendekatannya dalam menyebarkan agama Islam dengan cara humanis. Mbah Siradj tidak pernah membedakan agama atau suku saat bergaul. Ajaran beliau untuk mempersatukan umat dan pluralisme, mirip dengan ajaran Gus Dur di era ini.

Bahkan, karena sifatnya yang sangat terbuka terhadap segala macam lapisan masyarakat ini, hingga sekarang setiap diperingati haulnya walaupun tidak menggunakan dengan branding sepihak semisal haul Solo, seorang penjual bakso di Notosuman yang beragama Khatolik dan seorang Tionghoa, berkenan mengirim tiga kambing serta beberapa kuintal beras untuk menyukseskan acara haul tersebut.

Berawal dari Gedhek

Semasa muda, Kiai Siradj pernah berguru kepada sejumlah ulama besar. Di antaranya di Pesantren Mangunsari yang berada di Nganjuk, Jawa Timur, Siradj muda menimba ilmu kepada Kiai Bahri (ayah Kiai Ibnu Mundhir). Kemudian di Pesantren Tremas, ia berguru kepada KH Dimyati At Tirmizi, dan di Semarang, ia menjadi santri Kiai Sholeh Darat.  

Setelah menimba ilmu dari berbagai pesantren, ia kemudian mendirikan pesantren (kelak dikenal dengan nama Pesantren As Siroj) di Jalan Honggowongso 57 Kelurahan Panularan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah di atas tanah seluas 200 m². Di pesantren tersebut, Kiai Siradj mengajarkan berbagai ilmu, antara lain Sullamut Taufiq, Safinatun Najah, Duratul-bahiyyah dan Fathul Qorib, dll.  

Menurut penuturan dari keturunannya, salah satunya Mujab Shoimuri (74) mengungkapkan, bangunan pondok dulunya hanya sebuah gedhek (rumah sederhana). “Bangunan ini, dibangun Mbah Siradj, pada awalnya hanya sebuah gedhek. Kemudian setelah Mbah Siraj wafat tahun 1961, pesantren diasuh oleh ayah saya Kiai Shoimuri,” kenang Mujab

Pada zaman dulu, Pesantren As-Siraj sangatlah ramai, begitu pula dengan lingkungan di sekitar pesantren. Sebab, selain karena ketokohan Kiai Siradj, di sekitarnya juga terdapat berbagai lembaga pendidikan terkenal seperti Pesantren Jamsaren, Al Islam, Mamba’ul Ulum dan lain sebagainya. Mujab juga mengisahkan, ketika ia masih kecil ia bersama santri lainnya, mengikuti pelajaran yang diajarkan Mbah Siradj, yakni belajar membaca surah Al Fatihah dan bacaan tasyahud.  

“Sesudah KH Shoimuri wafat, pondok diasuh oleh adik saya, KH Mubin Shoimuri. Saat dipegang Mubin kemudian tempat ini dibangun rumah dan pondok yang bagus. Santri lambat laun juga bertambah banyak, kalau bulan puasa bahkan ada sekitar 200 santri yang ikut mengaji di sini. Semuanya dicukupi mulai dari makan, pakaian dan lain-lain,” terang dia.  

Kiai Mubin, yang juga pernah mengemban amanah sebagai Ketua PCNU Surakarta 2003-2008, mengasuh pondok sampai akhirnya dia wafat pada tahun 2007. Mbah Siradj juga dikenal khalayak sebagai seorang guru Thariqah Qadariyah Naqsabandiyah. Setiap hari, ia senantiasa istiqamah melaksanakan shalat berjamaah lima waktu dan shalat sunnah rawatib, yang selalu dijalankannya secara lengkap. Doa yang banyak dipanjatkan olehnya adalah “Ya Allah, Tuhan kami, Engkaulah yang kami tuju dan ridha Mu yang kami cari. Berilah kepada kami ridha Mu dan kecintaan Mu serta ma’rifat Mu.”  

Ikut Barisan Kiai  

Saat masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia dari cengkraman penjajah, Mbah Siradj juga ikut berjuang dalam kelompok 'Barisan Kiai'. Barisan Kiai yang dibentuk pada akhir tahun 1945 ini berisi para kiai sepuh yang diharapkan nasihat-nasihatnya dalam peperangan juga untuk membakar semangat para pejuang. Beberapa dari mereka juga ada yang memanggul senjata ikut berperang di front terdepan. Ulama lain yang tergabung dalam Barisan Kiai ini antara lain KHR M Adnan, Kiai Abdurrahman, Kiai Ma’ruf Mangunwiyoto, Kiai Abdul Karim Tasyrif, Kiai Martoikoro, dan Kiai Amir Thohar.  

Sebagai salah satu anggota barisan Kiai, Mbah Siradj sering didatangkan di hadapan para pejuang Laskar Hizbullah untuk memberikan pengarahan dan penggembelengan, baik jasmani maupun rohani. H Abdullah Adnan, veteran pejuang RI eks Laskar Hizbullah dan pasukan 'Lawa-Lawa' mengenang pernah suatu ketika ia dan pasukan lainnya yang tergabung dalam Hizbullah berkumpul di Begalon Solo. Ketika itu, tentara Belanda sudah mulai memasuki Kota Solo untuk mengadakan Agresi Militer II tahun 1948. Saat itulah, Mbah Siradj bersama anggota barisan kiai mengadakan inspeksi kepada pasukan Hizbullah yang berjumlah sekitar 50 orang. Tiba-tiba seorang anggota Hizbullah bernama Hayyun 25 tahun didekati lalu dipeluknya seraya berucap “ahlul jannah … ahlul jannah!”.  

Tak lama kemudian, datang tentara Belanda dengan sejumlah pasukan tank, lewat Pasar Kembang ke arah selatan. Hayyun maju dengan beraninya sendirian sambil membawa granat nanas, lalu dicabutnya dan melompat sambil melempar granat ke arah tank. Ketika tank meledak, terbakarlah tentara Belanda yang berada di dalam tank juga termasuk Hayyun, si pelempar granat tersebut.  

Wariskan Perjuangan NU  

Tidak banyak yang dapat diceritakan dari kisah perjuangan Mbah Siradj bersama NU, mengingat keterbatasan data dan narasumber. Namun, dari satu fakta penting yang ditemukan pada catatan dari Kongres ke Kongres (Muktamar) Nahdlatul Ulama (NU), nama KH Siradj tercatat pernah mengikuti Kongres I NU yang diadakan pada bulan Rabi’ul Awwal 1345 H/ 21-23 September 1926 di Hotel Muslimin Peneleh Kota Surabaya. Ketika itu ia datang bersama KH Mawardi (ayah KH Chalid Mawardi) sebagai utusan golongan ulama muda dari Kota Solo.  

Melalui fakta tersebut, dapat di asumsikan, pertama sosok bernama lengkap KH Ahmad Siradj ini merupakan salah satu tokoh generasi pertama yang ikut mendirikan NU di lingkup daerah Karesidenan Surakarta, khususnya di Kota Solo. Kedua, ini berarti NU di Kota Solo juga sudah ada sejak tahun 1926, tahun awal berdirinya NU, meski baru dalam lingkup kecil. Sampai sekarang, Kota Solo sebagai sebuah kota pergerakan yang terdapat berbagai macam aliran ideologi, keberadaan NU di daerah itu tentu menjadi pilihan warna dan wadah tersendiri bagi para kaum santri.  

Perjuangan Mbah Siradj bersama NU kemudian diteruskan oleh anak keturunannya hingga sekarang. Semisal puteranya yang bernama KH Shoimuri (wafat tahun 1983) pernah menjadi Rais Syuriyah PCNU Boyolali. Kemudian dilanjutkan oleh para cucunya antara lain KH Tamam Shoimuri (Rais PCNU Boyolali wafat tahun 2014), KH Mubin Shoimuri (Ketua PCNU Surakarta wafat tahun 2007), KH Makin Shoimuri (Pengasuh Pesantren Putri Raudhatut Thalibin Leteh Rembang), Nyai Hj Basyiroh Shoimuri (Ketua PP IPPNU periode kedua) dan lain sebagainya.  

Kiai Ahmad Siradj wafat pada hari Senin Pahing, 27 Muharram 1381 H atau 10 Juni 1961 M. Jenazahnya dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Makam Haji, Kartasura, Sukoharjo. Al Fatihah..🤲🤲

Daftar Pustaka:  

1. Hakim, Adnan. 1989. Mengenang Jejak Kyai Ahmad Siroj Sala. Solo: Pesantren As-Siroj.
2. Aboebakar, Atjeh. Sejarah Hidup KH A Wahid Hasjim. Jombang: Pesantren Tebuireng.
3. Abdul Basit, Adnan. 2003. Prof. KHR Mohammad Adnan, Untuk Islam dan Indonesia. Solo: Yayasan Mardikontoko Surakarta.

@sorotan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HABIB BA'ALWI, KAUM PENGECUT DI HARI PAHLAWAN

Awas Jebakan Fisik Sekte Tobrut-tobrut

Mengapa Hasil Penelitian KH Imaduddin yang Penting, Bukan Siapa Beliau