Inilah Ajaran Islam Di Nusantara Yang Membuat Geger Dunia Islam Pada Abad 16 M




Oleh: Husni Mubarok Al Qudusi


Syeikh Ibrahim al-Kurani untuk merespon permintaan murid sekaligus temannya dari Nusantara yang adalah Syeikh Abdurrauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri, mewakili sejumlah ulama Nusantara yang lain.


Permintaan ini dilatarbelakangi oleh perdebatan sengit di Jawa (Nusantara) tentang ajaran sufisme Syeikh Muhyiddin Ibn Arabi 1165-1240 M) dan Abd al-Karim al-Jili (1365-1402 M) “Wahdah al-Wujud” yang ditulis dan dikaji oleh antara lain Syeikh Fadl Allah al-Hindi al-Burhanfuri (w. 1620 M) dalam kitab “al-Tuhfah al-Mursalah”.


Kitab Al-Tuhfah al-Mursalah Ila Ruh al-Naby dikarang oleh Muhammad Ibnu Syekh Fadhlullah al-Burhanfuri Al-Hindi. Ia adalah seorang sufi dari Gujarat (w. 1620 M). Ajaran Martabat Tujuhnya berdasarkan atas paham dari Imam Muhiyiddin Ibn Arabi (w. 1240 M) dan Syekh Abdul Karim al-Jili (w. 1422 M). Ia sebagai pelopor Martabat Tujuh di Nusantara.


Ajaran Martabat Tujuh yang muncul dari Gujarat ternyata segera mempengaruhi perkembangan pemikiran mistik Islam di Aceh. Pada abad 17 ada empat orang tokoh pemikir sufi di Aceh mengembangkan ajaran Martabat Tujuh dari paham Syekh al-Burhanfuri yaitu Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai (w. 1630 M), Abdul Rauf dari Singkel (1617-1690 M) dan Nuruddin Ar-Raniri.


Syekh Al-Burhanfuri menjelaskan bahwa Allah menyatakan diri-Nya dalam Tujuh Martabat, yaitu martabat pertama disebut Martabat Tanzih (la ta‘ayyun atau martabat tak terinderawi) dan martabat kedua sampai dengan martabat ketujuh disebut Martabat Tasybkh (ta‘ayyun atau terinderawi). Dalam hal ini Syekh al-Burhanfuri mengklasifikasikan martabat-martabat tersebut antara lain :


1. Martabat Ahadiyah


“Martabat la Ta’yun” atau “Martabat al-ilthlaq” atau “Martabat Adz-Dzat Al-Bakht (Martabat Dzat Yang Mutlak). Ini tidak bermakna pembatasan kemutlakan dan pemahaman meniadaan ta’yun (entitas yang ada) ada tetap di dalam martabat itu. Sebaliknya hal itu bermakna bahwa Al-Wujud di dalam martabat itu (martabat la ta’yun) suci dari yang ikutan-ikutan dan sifat-sifat, dan suci dari setiap ikatan sampai pada ikatan kemutlakan juga. Dan martabat ini dinamakan “Martabat Al-Ahadiyah”, yaitu Kunhu al-Haqq Subahanu wa Ta`ala, dan tidak ada martabat lain di atasnya, sebaliknya setiap martbat ada di bawahnya.


2. Martabat Wahdah


Martabat kedua, “Martabat At-Ta’yun al-Awwal” adalah ibarat dari Ilmu-Nya Allah Ta'ala bagi Dzat-Nya dan Sifat-Nya dan semua al-maujudât dalam sudut global dengan tanpa pembedaan sebagian atas sebagian yang lain. Dan martabat ini dinamakan “Martabat al-Wahdah” dan “Al-Haqiqah al-Muhammadiyah”


3. Martabat Wahidiyah


Martabat ketiga “Martabat At-Ta’yun Ats-Tsani” adalah ibarat dari Ilmu-Nya Allah Ta'ala kepada Dzat-Nya, sifat-Nya, dan semua al-maujudat dari sudut perincian dan pembedaan sebagiannya dari sebagian yang lain. Dan martabat ini disebut “Martabat Al-Wahidiyah” dan “Martabat Al-Haqiqah Al-Insaniyah.” Ketiga martabat ini (Ahadiyah, Wahdah dan Wahidiyah) semuanya adalah ada dalam Ilmu Allah, belum dilahirkan dalam bentuk ciptaan, dan taqdîm dan ta’khirnya (dalam melihat ini) adalah 'aqli, tidak pada masa (tidak dalam pengertian waktu).


4. Martabat 'Alamul Arwah


Martabat keempat adalah “Martabat 'Alamul Arwah”, ibarat dari sesuatu al-kauniyah (yang dijadikan Allah), yang mujarrod (tunggal), yang terbentang/simpel, yang tampak pada bagian-bagian dzawatya (dzat-dzat dari kauniyah) dan amtsal-nya. 


5. Matabat 'Alamul Mitsal


Martabat selanjutnya ibarat dari sesuatu al-Kauniyah yang tersusun, halus, tidak lagi menerima pembagian dan pembedaan sebagian atas sebagian yang lain, tidak menerima pemecahan (al-kharq)


6. Martabat 'Alamul Ajsam


Martabat ini ibarat dari sesuatu al-Kauniyah yang tersusun, tampak, menerima pembagian dan pembedaan (dengan yang lainnya).


7. Martabat Al-Insan


Dan martabat ketujuh adalah martabat yang menghimpun keseluruhan bagi semua martabat yang disebutkan, berupa jismaniyah, nuraniyah, Wahdah, Wahidiyah, tajalli Ilahi yang yang akhir dan pakian-pakaian akhir (bagi tajalli Al-Haqq), yaitu Al-Insan. Dan ketujuh martabat ini, yang paling utama adalah “Martabat li Zhuhurin” (yang menyebabkan yang lain tampak), dan enam yang tersisa adalah martabat-martabat penampakan keseluruhannya. Martabat terakhir, yaitu martabat Al-Insan (dapat terjadi) apabila seseorang mendaki dan tampak di dalam (penyaksiannya) martabat-martabat seluruhnya tersebut. Dan yang paling sempurna terjadi pada diri Nabi Muhammad SAW. dan karena ini Nabi menjadi Khataman Nabiyyin.


Dan tidak boleh mengatakan pada “Martabat al-Uluhiyah” (tiga martabat dalam Ahadiyah, Wahdah dan Wahidiyah) sebagai martabat al-Kaun dan al-Khalq; demikian pula tidak diperbolehkan (menyebut) nama-nama martabat al-Kaun kepada “Martabat Uluhiyah”. Karena sesungguhnya Al-Wujud itu keduanya sempurna, salah satunya adalah disebut “Kamalun Dzatiyun” (sempurna Dzat-Nya) dan “Kamalun Asma’iyun” (sempurna Asma-Nya).


Karena beratnya ilmu tersebut maka oleh ulama-ulama syariat (fiqih) yang ada di berbagai pesantren Nusantara melarang untuk mengajarkan dan mengembangkan ajaran martabat tujuh ini secara terbuka.


Tak pelak, pergumulan intelektual tersebut pada gilirannya memberikan sumbangan yang amat berharga bagi pembentukan tradisi keilmuan dan keberagamaan Islam di Nusantara.


Bahwa Syeikh al-Kurani melalui karyanya kitab Ithaf Al-Dhaki telah berhasil membagikan pikiran-pikirannya yang cemerlang dalam rangka mendamaikan dua kutub ekstrim pemikiran dan diskursus keagamaan : tubuh versus ruh, eksoterisme vs esoterisme, formalisme vs substansialisme, partikularisme vs universalisme,  dan terma sejenis lainnya, atau dalam bahasa pesantren : antara Syari’ah versus Haqiqat  (Fiqh vs Tasawuf), Muhkamat vs Mutasyabihat, Ahl al-Hadits vs Ahl al-Ra’y dan sebagainya.


Perseteruan dua kutub ekstrim ini telah berlangsung dalam sejarah kaum muslimin di berbagai belahan dunia dalam kurun waktu yang sangat panjang dan dalam situasi sengit sekaligus telah menimbulkan malapetaka kemanusiaan yang sangat dahsyat dan tragis. Paling tidak lima tokoh legendaris yang sangat populer: Husein Manshur Al-Hallaj (857-922), ‘Ain Qudhat al-Hamdani (1099-1131) dan Suhrawardi al-Maqtul (1155-1191), Hamzah al-Fanshuri, dan Syeikh Siti Jenar, menjadi korban.


Melalui karya Magnum Opus, Syeikh al-Kurani berusaha secara intelektual melakukan rekonsiliasi wacana keagamaan dengan menghimpun berbagai pikiran dari para sarjana (ulama) dalam sejumlah bidang yang terkait, baik yang setuju atas gagasan “Wahdah al-Wujud” (Kesatuan Eksistensi) maupun yang menyerangnya.


Upaya-upayanya dilakukan dengan cara-cara yang damai, dengan kejernihan pikiran dan tanpa emosi yang meledak-ledak serta mendiskusikannya secara sehat, santun dan toleran. 


Syeikh al-Kurani sendiri mendukung ide tidak adanya pertentangan antara Syari’at dan Hakikat, antara Muhkamat dan Mutasyabihat dan tektualitas-rasionalitas dan sebagainya, seperti yang sudah disebut. Dan dengan begitu pada gilirannya juga akan sampai pada doktrin “Wahdah al-Wujud”, yang menjadi inti kajian buku ini.  


Gagasan rekonsiliasi atau harmonisasi antar dua kutub yang berdegup di atas dilakukan Syeikh al-Kurani dengan cara yang sangat menarik.


Al-Kurani memulainya dengan lebih dahulu menyatakan bahwa Al-Qur’an dan al-Sunnah adalah dua sumber Islam paling otoritatif. Seluruh muslim di dunia dengan keberagaman alirannya mengimani dan mempercayai sepenuhnya atas kebenaran keduanya sekaligus menjadikannya sebagai pedoman hidup dan berkehidupan. Seluruh kaum muslimin sepakat atas hal ini. Tak satupun menolak atau mengingkarinya.


Syeikh al-Kurani kemudian mengajukan premis berikutnya, bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci adalah utuh dan di dalamnya sama sekali tidak ada kontradiksi antara satu teks (ayat) dengan teks (ayat) yang lain ('Adam al-Ta’arud). Pertentangan antar pernyataan Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin. Adalah mustahil, tidak masuk akal, jika Tuhan menyatakan dua hal yang bertentangan untuk satu hal, isu atau kasus. Tuhan Maha Benar. La Yatihi al- Bathil baina Yadaihi. Tanzilun min Hakimin Hamid.


Maka dari situ Syeikh al-Kurani kemudian mengemukakan tesisnya : “Al-Jam’u Muqaddam 'ala al-Tarjih” (Memadukan adalah lebih utama daripada memilih salah satunya).


Pada Mulanya adalah Kata


Bila pernyataan Tuhan dan Nabi tidak mungkin kontradiktif, maka mengapa dalam faktanya terjadi perdebatan, perseteruan, saling sesat-menyesatkan, pengkafiran dan bahkan tragedy pembunuhan atas nama teks-teks agama di kalangan kaum muslimin, sebagaimana sudah dikemukakan?


Syeikh al-Kurani mengeksplorasi akarnya. Jika saya menyimpulkannya lebih awal, maka akar itu adalah “kata”. Ya, perdebatan dan perseteruan itu “Berawal dari Kata”. Imam Ali bin Abi Thalib r.a. mengatakan : “Al-Qur’an adalah kata-kata di antara dua bingkai mushaf. Ia tidak bicara apa-apa. Yang bicara adalah manusia”. Dan ia adalah “corpus terbuka” untuk dimaknai oleh manusia untuk memperoleh “hidayah” Tuhan.


Pada kesempatan lain Ali bin Abi Thalib mengatakan : “Al-Qur’an Hammal Awjuh” (al-Qur’an mengandung multi perspektif): Fiqhy, Kalamy, Sufi dan sebagainya. 

Syeikh al-Kurani, untuk ini, mengulas panjang lebar sambil mengutip sejumlah sumber legitimasinya dari al-Qur’an, Hadits Nabi dan sejumlah tokoh otoritatif. Syeikh al-Kurani antara lain menyebut beberapa sumber yang menyatakan bahwa setiap ayat al-Qur’an mengandung makna lahir, batin, had dan mathla' dan riwayat yang lain. 


Tetapi apakah makna empat kata: dhahir, bathin, had dan mathla’ tersebut?. Syeikh al-Kurani dalam karyanya menyebutkan beberapa tafsir atasnya, antara lain dari Jalal al-Suyuthi. Katanya: Dhahir adalah apa yang nampak. Bathin adalah yang samar bagai ruh yang suci yang tersembunyi. Had adalah pembatas, bagai “barzakh”, jembatan yang mengantarkan makna lahir ke makna batin. Mathla’ adalah makna yang mengantarkan kepada pengetahuan tentang hakikat.


Tafsir lain dikemukakan oleh Sufi besar Abd Allah al-Muhasibi mengatakan: “Dhahir adalah bacaannya (tilawah), bathin adalah ta’wil, had adalah puncak pemahaman dan mathla’ adalah melampaui batas, ekstrim dan kedurhakaan”.


Sulami (w.937), sufi terkemuka mengatakan : “Dhahir adalah bacaannya, bathin adalah ta’wil, had adalah hukum-hukum halal-haram dan mathla’ adalah kehendak Tuhan”.


Berbeda dengan kedua tokoh besar ini, al-Syeikh al-Akbar Muhyiddin ibn ‘Arabi mengatakan : “Dhahir adalah tafsir, bathin adalah ta’wil, had adalah puncak pemahaman manusia dan mathla’ adalah pengetahuan untuk mencapai kondisi dapat menyaksikan Tuhan (ma yash’adu ilaihi minhu fa yathla’u ‘ala syuhud al-Malik al-‘Allam). 


Syeikh al-Kurani menambahkan bahwa makna bathin sendiri bahkan mengandung sampai tujuh tingkatan bahkan sampai tujuh puluh. Kata lain dari semua itu sesungguhnya adalah bahwa makna sebuah teks al-Qur’an sangatlah multikompleks, multi dimensi dan bahkan tidak terbatas.


Sufi agung Syeikh Abd Allah Sahl al-Tustari (w. 896) mengatakan: “Andaikata seorang hamba Allah dianugerahi seribu pemahaman atas satu huruf al-Qur`an, niscaya dia tidak akan mencapai maksud Tuhan yang diungkapkan dalam kitab suci-Nya. Karena ia adalah Kalamullah. Kata-kata Tuhan adalah Sifat-Nya. Tuhan Maha Tak Terbatas, maka kata-kata-Nya juga tak terbatas. Apa yang dapat dipahami oleh masing-masing orang adalah sebatas apa yang dianugerahkan Allah kepadanya.” 


Apa yang dapat kita simpulkan dari uraian di atas adalah bahwa teks-teks keagamaan sesungguhnya dapat dimaknai secara berbeda-beda dan berlapis-lapis, sebagaimana berbeda-beda dan berlapis-lapisnya tingkat intelektualitas manusia. Semua makna tersebut sah dan dapat dibenarkan sepanjang, menurut Syeikh al-Kurani beberapa kali, memungkinkan dilihat dari aspek linguistiknya, termasuk pemaknaan aforisme dan metaforismenya.


Namun faktanya bahwa pembahasan mengenai martabat tujuh yang perna berkembang di bumi Nusantara pada abad ke 16 dan membuat geger dunia itelektual Islam kala itu. Dan masuknya islam di Nusantara tidak bisa dilepaskan oleh ajaran martabat tujuh ini yang dibawahkan oleh ulama-ulama sufi yang bernuansa tasawuf falsafi. Akan tetapi, seiring dengan masuknya kolonialisme Belanda ke Nusantara (Indonesia) dan Inggris ke Malaysia maka ajaran martabat tujuh mulai memudar dan akhirnya tergilas habis dengan berkembangnya tasawuf amali ala Imam Al-Ghazali menitikberatkan kepada syariat. Sehingga oleh ulama-ulama berbasis syariat yang ada di berbagai pesantren Nusantara melarang untuk mengajarkan dan mengembangkan ajaran martabat tujuh ini. Namun demikian, ajaran martabat tujuh telah membawa sumbangsih terbesar dalam mengokohkan aqidah dan memperkuat tauhid masyarakat Islam di Nusantara ini



Wallahu Alam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HABIB BA'ALWI, KAUM PENGECUT DI HARI PAHLAWAN

Awas Jebakan Fisik Sekte Tobrut-tobrut

Mengapa Hasil Penelitian KH Imaduddin yang Penting, Bukan Siapa Beliau