Mencuri Ruh NU Lewat Nama-Nama Asing
Mereka Menyusup Lewat Tawasul
Di sebuah acara yang mengatasnamakan Nahdlatul Ulama, lantunan tahlil dan fatihah terdengar syahdu. Namun bila didengar seksama, tak satu pun nama para sesepuh NU yang disebut. Tak ada KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, atau KH Abdul Wahab Chasbullah. Bahkan nama-nama kiai lokal yang menjadi panutan di daerah pun tak muncul. Yang muncul justru nama-nama asing, tak dikenal dalam silsilah NU: Al Habib ini, Al Habib itu, hingga Ustadz Al-Muqaddam entah siapa.
Fenomena ini bukan satu-dua kali. Kini, amaliah NU dikoptasi perlahan-lahan oleh pihak luar yang berlindung di balik gelar ‘habib’ dan mengatasnamakan tarekat. Mereka menyusup bukan lewat debat, tapi lewat doa. Bukan lewat adu argumen, tapi lewat tawasul. Dan yang lebih menyakitkan: mereka menyusup lewat tubuh NU itu sendiri.
Tawasul dan fatihah adalah ritual sakral dalam tradisi NU. Di situlah terkandung pengakuan sejarah, cinta pada guru, dan penghormatan pada sanad ilmu. Namun hari ini, amaliah itu dikendalikan oleh mereka yang tak punya akar di NU, bahkan tak berkontribusi sedikit pun terhadap lahir dan berkembangnya NU. Nama-nama dari Klan Ba’alwi—yang silsilahnya pun kontroversial—dipaksakan menggantikan para kiai sepuh. Ini bukan sekadar penyimpangan, ini penjajahan spiritual yang rapi dan sistematis.
Ironisnya, banyak dari mereka yang memimpin acara itu memakai atribut NU, bahkan ada yang duduk dalam struktur formal NU, dari pengurus cabang sampai pusat. Namun dalam praktik amaliahnya, NU hanya dipakai sebagai jubah, bukan ruh. Mereka berdiri atas nama NU, tapi berdoa atas nama Ba’alwi.
Pertanyaannya sederhana: mengapa para kiai NU yang mengorbankan hidupnya demi agama dan bangsa dilupakan, tapi nama-nama dari luar yang tidak punya hubungan sejarah dengan NU justru diagungkan? Mengapa KH Wahid Hasyim yang menjadi menteri pertama agama Indonesia tidak disebut, tapi nama-nama yang tidak pernah berjuang untuk republik ini dimuliakan setinggi langit?
Ini bukan soal fanatisme. Ini soal identitas. NU dibangun dari darah dan keringat para kiai kampung, pesantren, dan santri. Ketika ruh NU diganti dengan kultus kepada tokoh-tokoh klan tertentu yang bahkan memiliki jejak genetik dan sejarah yang meragukan, maka yang terjadi adalah penghancuran NU dari dalam.
Lebih jauh, ini adalah bagian dari agenda panjang untuk menjauhkan Nahdliyin dari para kiainya, dan menggantinya dengan “tokoh-tokoh suci” dari klan tertentu, yang pada akhirnya akan menjadikan warga NU budak mental—jongos spiritual—yang tak lagi berpikir kritis terhadap sanad keilmuannya sendiri.
Sadarilah, ini bukan sekadar pergeseran amaliah. Ini operasi ideologis. NU sedang direbut—bukan dengan kekerasan, tapi dengan penghapusan sejarah dan penggantian figur. Jika warga NU terus diam, saatnya akan tiba ketika para santri tak lagi mengenal KH Hasyim Asy’ari, tapi lebih akrab dengan tokoh-tokoh fiktif dari negeri seberang yang bahkan bukan Arab, apalagi keturunan Nabi.
Warga NU, ingatlah! Tawasulmu adalah pada para guru dan kiai yang mengajarkanmu Islam dengan penuh cinta dan perjuangan. Jangan kau ganti mereka dengan nama-nama asing yang tak punya sejarah, tak punya sanad, dan tak punya andil apa pun terhadap negeri ini.
—
Komentar
Posting Komentar