ANALISIS IDRUS BIN SALIM ALJUFRI : DARI MUFTI TARIS HADRAMAUT MENUJU PALU DI JAMAN PENJAJAHAN BELANDA (fakta sejarah)
Oleh : KRT FAQIH WIRAHADININGRAT
"Jika kamu ingin memahami hari ini, kamu harus mencari kemarin." - Pearl Buck
“Baik kehidupan individu maupun sejarah masyarakat tidak dapat dipahami tanpa memahami keduanya." - C. Wright Mills
MEMAHAMI SEJARAH HARUS DARI SEGALA SISI
Dalam sebuah pertanyaan besar, apakah sosok Idrus bin Salim Aljufri-Palu pantas untuk menjadi Pahlawan Nasional, maka perlu diajukan pertanyaan lainnya demi menguji kepantasannya. Karena pantas dan tidaknya seseorang untuk menjadi bagian dari sejarah beserta posisinya, harus dapat ditinjau dari berbagai macam sisi dan latar-belakangnya. Tentunya semua pertanyaan tersebut harus dijawab dengan baik, benar dan logis. Agar kepantasan tersebut benar-benar memiliki sebuah arti yang bisa disajikan dengan terbuka dan dinilai semua orang.
Untuk memahami kesejarahan seseorang, tidak bisa berdiri sendiri hanya mengandalkan kisah dari satu versi saja. Sebagaimana bentuk gajah, 5 orang yang buta akan menjelaskan sesuai pengalamannya masing-masing ketika mereka menyentuh dan merabanya. Sejarah tidak bisa berdiri sendiri, dia harus dikupas dengan banyak ilmu lainnya agar bisa menjadi pemahaman yang utuh dan gambaran yang lengkap.
Ilmu sejarah yang memanjang dalam waktu (diakronik), harus dibantu dengan ilmu-ilmu sosial yang mengembang dalam ruang (sinkronik). Antara lain ilmu sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, geografi, dan sosial politik. Pada akhirnya, karena tidak bisa berdiri sendiri tanpa ilmu-ilmu sosial inilah, maka ilmu sejarah dimasukkan ke dalam golongan ilmu sosial pula. Walau memiliki perbedaan prinsipil namun keduanya memiliki hubungan timbal-balik.
(https://www.google.com/amp/s/m.kumparan.com/amp/berita-terkini/3-perbedaan-ilmu-sejarah-dengan-ilmu-sosial-1z5UGuxS5D1)
Demikianlah untuk memotret sejarah sesosok manusia, harus pula dianalisis tentang siapa saja manusia-manusia yang hidup di jaman yang sama, pertautan diantara mereka dan analisis logis berdasarkan kajian ilmu sosial lainnya.
Mari kita berselancar ke suatu masa sekitar seabad silam di sebuah kawasan yang bernama Hindia Belanda. Suatu sebutan bagi Nusantara yang sedang mengalami masa kolonialisasi Belanda.
TIMELINE IDRUS BIN SALIM ALJUFRI
Mari kita tengok kembali lini masa (timeline) riwayat hidup sosok yang sedang kita kaji berikut ini :
a) Lahir pada tanggal 15 Maret 1892, di Taris Hadramaut (sekitar 40 km sebelah barat daya Tarim)
b) Di usia 17 tahun (1909) pertama kali berkunjung ke Hindia Belanda. Pada masa itu imigran Yaman sudah membanjiri Hindia Belanda. Ini adalah bagian dari proyek kooptasi pribumi Nusantara dengan metode segregasi kelas untuk meredam pemberontakan yang selalu terjadi berulang kali. Terutama pada Perang Diponegoro dimana sangat menguras kekayaan Belanda dan membuatnya hampir bangkrut. Sejarah mencatat bahwa proyek migrasi Yamani ke Nusantara dilakukan massif pasca Perang Diponegoro (1825-1830). Yang berakhir setelah Pangeran Diponegoro dijebak dan ditangkap secara licik oleh Belanda dan diasingkan ke Sulawesi (1830-1834 di Manado, dan terakhir ke Makassar hingga wafat tahun 1855). Sementara 2 pembantu utamanya yaitu Kyai Mojo juga dibuang ke Sulawesi, sementara Sentot Alibasyah ke Sumatera. Untuk Sentot harus berpindah-pindah di dalam pengasingannya. Sebelum akhirnya wafat di Bengkulu, dia dicurigai membantu perjuangan Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat (1833). Sehingga akhirnya diberlakukan pengawasan yang sangat ketat kepada Pangeran Diponegoro dan juga Kyai Mojo selama di Tondano Sulawesi Utara.
c) Di Nusantara, Idrus muda mengunjungi sanak-kerabatnya yang telah terlebih dahulu bermigrasi. Selama 4 tahun dia mengunjungi beberapa kota di Jawa dan ke Manado untuk menemui ibunya dan 2 kakak lelakinya. Jadi dalam hal ini diriwayatkan pula bahwa ibu dan bapaknya ternyata telah terpisah ribuan kilometer jauhnya. Sang Bapak masih menjadi warga Hadramaut dan ibunya telah terlebih dahulu ke Nusantara bermigrasi bersama 2 putranya. Mari berpikir kritis, motivasi apakah yang mampu menggerakkan suami untuk dapat melepas istrinya bermigrasi sedemikian jauhnya? Wallahu a'lam. (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Idrus_bin_Salim_Al-Jufri)
d) Pada umur 21 tahun (1913) Idrus kembali ke Hadramaut bersama ayahnya.
e) Menikah pertama kalinya pada tahun 1915.
f) Ayahnya wafat 1916 dan menggantikannya untuk menjadi mufti Taris pada tahun 1917 (usia 25).
g) Tahun 1922 memutuskan bermigrasi ke Nusantara, konon karena melawan imperialisme Inggris. Namun yang menjadi pertanyaan besar, mengapa harus meninggalkan negerinya yang masih dalam cengkeraman penjajahan bangsa barat dan sekaligus meninggalkan pula posisinya sebagai mufti (pemimpin keagamaan). Andai terus melawan dan gugur, bukankah akan menjadi pahlawan nasional bagi negeri Yaman Selatan? Yang ironis, melarikan diri dari negerinya dan menuju Nusantara yang juga masih dalam cengkeraman penjajahan bangsa Barat yaitu Belanda. Jawabannya tentu saja karena di Hadramaut tidak mendapatkan fasilitas semewah di Nusantara. Bagaimana tidak mewah, disini menjadi warga elit kelas 2 diatas pribumi, bebas mengaku cucu Nabi (sementara di Yaman nihil dari pengakuan), dan tentu saja dengan segala fasilitas lainnya sesuai tujuan proyek kolonial dalam upaya migrasi besar-besaran Yamani ke Nusantara. Motivasi pribadi dan latar belakang sejarah ini sangat penting untuk dikaji sebagai sebuah pengambilan keputusan akhir dari setiap manusia. Lalu apakah Idrus bin Salim Aljufri benar-benar seorang ulama dan patriotis yang mencintai tanah-airnya (Yaman) dan dilandasi motivasi yang mulia untuk hijrah ke Nusantara? Silahkan jawabannya dikembalikan ke logika sehat dan hati nurani masing-masing.
h) Setelah hijrah ke Nusantara, dari Batavia lalu menetap di Pekalongan dan menikah untuk kedua kalinya. Tidak disebutkan apakah istri pertamanya turut hijrah ke Nusantara ataukah ditinggal di Hadramaut. Di kota ini dia sempat berdagang batik namun akhirnya gagal. Sebagai perantau baru di negeri orang dia belum berhasil untuk sukses, baik secara materi maupun posisi. Di Pekalongan sendiri telah padat dan sesak dengan imigran Yaman dari berbagai marga, baik Ba'alwi maupun yang lainnya. Di kota ini, telah bercokol marga Alatas yang menjadi pemimpin keagamaan dan marga Bin Yahya yang menjadi Kapitan Belanda.
i) Karena kehidupan di Pekalongan kurang sesuai harapan, kemudian dia hijrah ke Solo (1923). Atas bantuan mantan muridnya di Hadramaut yang sudah lama hijrah ke Solo, lalu mendirikan Madrasah Rabithah Al Alawiyyah. Jadi sebelum organisasi Rabithah Alawiyyah benar-benar berdiri tahun 1928, dia telah memakai nama tersebut untuk madrasahnya.
j) Tahun 1925-1926 hijrah ke Jombang, dan tidak disebutkan mengapa harus meninggalkan posisi sebagai Guru dan Kepala Sekolah di Solo. Konon menurut versi internal mereka, selama di Jombang diceritakan telah berkenalan baik dengan Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari. Namun agaknya kabar kedekatan mereka selama beberapa tahun di Jombang ini juga harus diverifikasi kembali. Minimal harus ada jejak dokumentasi atau bukti-bukti lainnya yang mendukung. Karena apabila ini benar, maka akan tertulis dalam sejarah kedua belah pihak. Bertemunya dan kedekatan 2 tokoh besar tentunya akan mudah ditelusuri jejak sejarahnya. Tetapi yang jelas, nama Idrus bin Salim Aljufri tidak tercatat ikut dan terlibat di dalam pendirian Nahdhatul Ulama yang berdiri pada tahun 1926. Andai hubungan mereka berdua sangat dekat apalagi tinggal di kota yang sama, seharusnya namanya tercatat dalam dokumen pendirian NU.
k) Pada tahun 1926 pula, dia memutuskan pindah lagi. Kali ini keluar Jawa. Seharusnya di tengah umur NU yang masih muda, bila kedekatannya dengan pendiri NU benar-benar terjadi, maka seyogyanya ikut membantu organisasi yang sedang tumbuh dan berkembang tersebut. Apalagi NU juga sedang getol selama itu untuk mempersiapkan Komite Hijaz ke Saudi Arabia. Tujuannya untuk bertemu Raja Ibnu Saud demi memprotes penghancuran makam-makam sahabat dan keluarga Nabi. Bahkan Makam Nabi pun direncanakan hendak dihancurkan pula. Tapi sejarah tidak mencatat 1 orang pun dari Klan Ba'alwi ikut dalam pergerakan ini. Padahal mereka paling getol mengaku cucu Nabi, dan paling hobby membangun makam. Sungguh suatu hal yang aneh, dan harus dikaji dengan kritis.
l) Dalam migrasi ke luar Jawa. Tercatat beberapa kota dikunjunginya. Yaitu Makassar (1926) tempat dimana makam Diponegoro dan pengaruhnya masih kuat di sekitarnya. Lalu dilanjutkan sebentar di Palu, Manado dan tinggal di Gorontalo (1927). Sekitar tahun 1927 ini nanti akan menjadi catatan penting berkaitan dengan kunjungan Gubernur Jenderal Belanda ACD de Graeff ke beberapa tempat tersebut. Untuk Manado tentunya tak lepas dari kedekatan posisi dengan Tondano, tempat makam Kyai Mojo dan pengikutnya. Keturunan mereka membentuk komunitas JATON (Jawa Tondano), yang beragama muslim. Tentunya komunitas ini jelas berdarah pejuang. Bagi Belanda tentu harus diawasi dan dijinakkan dengan segala cara agar tidak berpotensi mengobarkan perlawanan kembali.
m) Ada riwayat bahwa selain kota-kota penting di Sulawesi yang dikunjungi dan ditempati oleh Habib Idrus, konon beliau juga masuk ke Ternate sebagai pusat Kesultanan Islam di Kepulauan Maluku. Artinya dengan berhijrah dari Pulau Jawa dan berkeliling ke berbagai kota di Indonesia Timur adalah pasti memiliki suatu tujuan. Dan itu pasti butuh biaya besar. Tentunya semua biaya tersebut pasti ada sumbernya. Dari sini seolah semuanya masih gelap-gulita. Siapakah yang membiayai segala pergerakan dan migrasinya sejak dari Hadramaut lalu ke berbagai kota di tanah Jawa hingga ke Indonesia Timur. Semoga kelak semuanya akan terungkap dengan terang-benderang.
n) Pada tahun 1929 hijrah ke Donggala.
o) Tahun 1930 hijrah dan menetap di Palu. Di tahun ini pula dia mendirikan Alkhairaat, setelah sebelumnya berkeliling ke banyak tempat di Indonesia Timur.
Pertanyaannya :
1. Apakah dia tercatat ikut di dalam pergerakan perjuangan bangsa melawan kolonial?
Jawabannya : NIHIL. Misal iya, pasti ditangkap dan diasingkan seperti para tokoh perjuangan lainnya.
2. Apakah dia tercatat sebagai tokoh yang menolak rasisme atas nama segregasi kelas ala kolonial?
Jawabannya : NIHIL. Justru tercatat sebagai pencetus nama Rabithah Alawiyah. Yang kelak akan jadi organisasi rasis pencatat nasab keluarga Ba'alwi, yang mengaku cucu Nabi dan merasa rasnya paling mulia dibandingkan pribumi. Nama datuk mereka yang bernama Alwi bin Ubaidillah (nama burung di Hadramaut) dirubah dengan ‘Alawi (keturunan Sayyidina Ali). Jelas ini suatu penyesatan karena di Yaman mereka tidak diakui sebagai bagian keluarga Nabi SAW, apalagi di Iraq yang diklaim juga sebagai negeri leluhurnya. Karena sejatinya mereka dulunya juga imigran di Yaman dan mengaku dari Iraq.
3. Dalam tahun-tahun dia di Jawa, terjadi konflik tajam dan berdarah antara Keluarga Ba'alwi dengan Al Irsyad (Arab non Ba'alwi), apakah tercatat ikut terlibat di dalam mediasi perdamaian tersebut?
Jawabannya : NIHIL. Sehingga ada nama yang masyhur diceritakan sebagai sahabatnya yaitu Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf patut diragukan kebenarannya. Ini karena Abdurrahman bin Ubaidillah selaku Mufti Seiwun (ibukota Hadramaut) pernah didatangkan Belanda untuk menjadi juru damai di dalam konflik tersebut. Namun tidak tercatat nama Idrus bin Salim Aljufri ikut menjadi juru damai yang membantu tokoh Hadramaut tersebut. Dari sini penulis meragukan klaim bahwa keduanya bersahabat karena jelas jejak sejarahnya tidak sama. Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf seorang yang terkenal akan kesalehan dan patriotisme kepada tanah-airnya. Dia memilih sepahit dan sesulit apapun tetap tinggal di Hadramaut dan tidak tergiur segala fasilitas untuk hijrah ke Nusantara. Dalam kitab yang ditulis oleh cucunya Al Istizadah fi Akhbarissadah, tertuang kekecewaannya kepada keluarga Ba'alwi di Nusantara yang rasis, keras kepala, tidak mau didamaikan dan merasa yang paling benar. Padahal keluarga Al Irsyad sangat menerimanya dan bisa dinasehati, walau dia harus menemuinya dengan cara sembunyi-sembunyi karena ada ancaman dari keluarga Ba'alwi sendiri yang justru sulit dinasehati. Segala ironi dan kecamannya kepada keluarga Ba'alwi dapat dibaca secara utuh pada kitab tersebut. Sebuah autokritik yang layak dijadikan cerminan sejarah karena ditulis oleh internal mereka dan berani membuka segala topeng kepalsuan.
4. Apakah sebagai ulama yang konon mufti di Taris Hadramaut dan mengaku cucu Nabi terlibat di dalam pendirian NU dan Komite Hijaz, mengingat di tahun 1926 tinggal di Jombang?
Jawabannya : NIHIL. Tidak ada catatan apapun keterlibatannya di dalam 2 momentum penting tersebut. Yang ada malah keluar Jombang setelahnya dan keliling ke Indonesia Timur. Kalau benar terlibat, maka silahkan dihadirkan catatan keterlibatannya. Baik di dalam peristiwa pendirian ormas Islam terbesar di dunia NU ataupun gerakan protes penghancuran makam Nabi SAW. Bila mengaku cucu Nabi masak rela makam datuknya mau dihancurkan. Mari berpikir kritis. Ulama Nusantaralah justru yang protes keras dan sampai berangkat ke Tanah Arab. Sedangkan yang katanya ulama imigran dari Tanah Arab tidak ada bukti ikut protes dan malah hidup nyaman di Nusantara.
5. Apakah Pak Idrus bin Salim Aljufri ini terlibat di dalam organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan, atau masuk sebagai utusan atau perwakilan BPUPKI & PPKI sebagai persiapan panitia kemerdekaan Indonesia, atau pernah menulis di masa itu dan terekam jelas dukungannya secara terbuka kepada upaya perjuangan dan pergerakan kemerdekaan?
Jawabannya : NIHIL. Dia tidak permah meninggalkan sebuah karya tulis ilmiah dan berjiwa patriotis yang pernah dimuat secara terbuka di jaman itu.
6. Yang selalu menjadi pertanyaan besar, apakah Bendera Merah-Putih atas saran dari dia sehingga menjadi bendera kebangsaan?
Jawabannya : NIHIL. Ini sudah dibantah oleh para Sejarawan sebagai narasi sesat dan palsu. Karena bendera merah-putih sudah digunakan sebagai simbol kerajaan-kerajaan Nusantara berabad-abad lamanya bahkan sebelum Majapahit didirikan. Dan unsur dwiwarna merah-putih ini juga digunakan di berbagai kerajaan di luar Indonesia serta beberapa negara ASEAN yang mengakui dulunya bagian dari Imperium Majapahit. Lihat Bendera Singapura, Malaysia, atau Thailand yang masih setia dengan unsur Merah-Putih di dalamnya.
7. Lalu apakah dia masih terhitung dan dinilai berjasa bagi bangsa ini?
Jawabannya : IYA dan JELAS. Sebagaimana banyak ulama pribumi lainnya yang mendirikan pondok pesantren atau lembaga pendidikan yang memiliki banyak cabang dan ribuan alumni, jelas ini suatu jasa baik yang harus dicatat. Karena sedikit-banyak ini adalah upaya nyata di dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa dan terutama agama. Namun adalah ironi apabila memaksakan seseorang yang baru membuat lembaga pendidikan di tahun 1930 dan tidak tercatat dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan bangsa untuk dijadikan pahlawan nasional. Mengapa tidak mengangkat ratusan ulama dari Banten yang gugur di Geger Cilegon, dimana perjuangan mereka patah karena fatwa sesat dari Mufti Belanda Usman bin Yahya Ba'alwi? Mengapa tidak mengangkat pendiri Ponpes Sidogiri Pasuruan yang umurnya lebih dari 3 abad dan banyak pengasuh dari generasi setelahnya yang berjuang mengangkat senjata hingga ikut serta mendirikan NU? Atau bertebaran ulama lainnya yang nyata-nyata banyak berguguran di dalam membela bangsa ini? Silahkan dijawab dengan komparasi yang adil dan benar !
8. Apakah Pak Idrus ini berstatus Warga Negara Indonesia sampai akhir hayatnya?
Jawabannya : NIHIL. Karena dia baru berstatus WNI pada tahun 2024 dan itu menabrak Konstitusi dan UU Kewarganegaraan no.12 tahun 2006. Dia wafat tahun 1969, artinya harus patuh dengan UU no.3 tahun 1946 dan UU no.62 tahun 1958. Bayangkan, dengan berlakunya 2x UU Kewarganegaraan tapi yang bersangkutan seolah abai dan tidak mengajukan kewarganegaraan. Padahal nyata-nyata dia adalah seorang dari bangsa asing dan lahir diluar Indonesia. Artinya, bila merasa bagian dari Negara Indonesia, maka seharusnya tertib pada hukum dan mengajukan diri dengan antusias sebagai WNI. Nyatanya? ZONK. Justru baru menjadi WNI dengan cara yang layak digugat di depan hukum. Mana bisa orang yang sudah mati mengajukan diri menjadi WNI, kecuali di alam mimpi dan atau khurafat? Menjadi Warga Negara Indonesia itu harus yang bersangkutan sendiri dalam pengajuan diri. Itupun dengan serangkaian persyaratan termasuk diwajibkan bersumpah setia kepada NKRI. Apakah BELIAU YANG MULIA IDRUS BIN SALIM ALJUFRI pernah melakukan itu semasa hidupnya? Ternyata NIHIL jawabannya saudara !
Mari kita tanya dengan jujur, apakah dari kesemua hal tersebut dia layak untuk menjadi Pahlawan Nasional?!?
Menjadi seorang WNA yang berjasa mungkin iya, tetapi untuk Pahlawan Nasional tentunya masih terlalu jauh dari jangkauan. Karena masih banyak tokoh2 lainnya yang jelas-jelas berjuang dan gugur demi kemerdekaan bangsa !!!
GUBERNUR JENDERAL BELANDA DE GRAEFF
Mari kita menoleh kepada sesosok lain sejamannya. Dia adalah A.C.D. de Graeff, seorang pejabat tinggi kolonial Belanda yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari 1926 hingga 1931. Nama lengkapnya Andries Cornelis Dirk de Graeff. Ia dikenal sebagai seorang administrator yang mencoba menerapkan kebijakan lebih moderat dalam menghadapi pergerakan nasional di Indonesia.
Karier dan Kebijakan
Sebelum Menjadi Gubernur Jenderal
1. De Graeff memiliki latar belakang sebagai pejabat kolonial dan diplomat.
2. Pernah bertugas di beberapa wilayah di Hindia Belanda sebelum akhirnya diangkat menjadi Gubernur Jenderal.
Masa Jabatan sebagai Gubernur Jenderal (1926–1931)
1. Menghadapi Pemberontakan PKI 1926-1927. Selama pemerintahannya, terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jawa dan Sumatra. Ia merespons dengan penumpasan keras dan pengasingan ribuan orang ke Boven Digoel, Papua.
(Lihat Salinan Surat Perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda Andries Cornelis Dirk De Graeff (menjabat 1926-1931) tanggal 15 April 1927 ttg Daftar Orang Pribumi yang diijatuhi Hukuman Pengasingan di Boven Digoel)
2. Reformasi Politik Terbatas. Meskipun ada tekanan dari kaum nasionalis, De Graeff tetap mempertahankan kebijakan kolonial yang tidak memberikan banyak kebebasan bagi pribumi. Artinya politik segregasi kelas masih berjalan dan pengawasan masih berjalan dengan ketat. Mendirikan organisasi dan bepergian juga diawasi dengan ketat. Setiap gerak-gerik akan diawasi. Maka, migrasi ke berbagai tempat dari seorang Idrus bin Salim Al Jufri juga pasti atas sepengetahuan dari kolonial.
3. Menghadapi Gerakan Nasionalisme. Pada masa ini, Sukarno mendirikan PNI (1927) yang kemudian berkembang menjadi salah satu kekuatan utama dalam pergerakan kemerdekaan. Pada masa ini pula terjadi Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928), disusul pendirian Rabithah Alawiyah 2 bulan setelahnya dan Klan Ba'alawi Yaman tercatat TIDAK ikut mendukung Sumpah Pemuda pada tahun tersebut. Gelora kebangsaan dari lintas etnis, suku dan agama yang bersatu dalam Sumpah Pemuda tersebut ternyata absen dari keterlibatan Habaib Klan Ba'alwi Yaman. Lalu dimana posisi dan suara dukungan Pak Idrus pada saat itu? Atau terekam bagaimana dia memarahi keluarganya sendiri karena absen di dalam perhelatan tersebut, itu kalau benar-benar beliau seorang patriotis sejati. (https://rminubanten.or.id/refleksi-hari-sumpah-pemuda-andai-saya-menjadi-ba-alawi/)
Setelah Menjabat Gubernur Jenderal
1. Setelah kembali ke Belanda, ia tetap aktif dalam politik dan diplomasi.
2. Berperan dalam hubungan internasional antara Belanda dan negara lain.
Keterkaitan Lini Masa De Graeff dengan Idrus bin Salim Aljufri :
1. Pada tahun 1926 di awal dia menjabat, bersamaan itu pula dengan dimulainya Idrus bin Salim Aljufri meninggalkan Tanah Jawa dan berkeliling di Indonesia Timur. Adakah ini suatu kebetulan saja?
2. Pada tahun 1927, terindikasi keduanya bertemu di beberapa tempat seperti Donggala, Palu, Manado dan Gorontalo. Indikasi tersebut diperkuat dengan pemberitaan bahwa terjadi penyambutan meriah oleh kaum imigran di berbagai tempat tersebut. Di jaman itu bila sekelas Gubernur Jenderal datang, lalu ada orang yang menolak menyambutnya apalagi konon sekelas tokoh, maka pasti berat resiko hukumannya. Bisa-bisa dituduh subversif atau pemberontak. Pada akhirnya tidak ada pemberitaan dari sumber manapun, bahwa Idrus bin Salim pernah dihukum oleh Belanda untuk alasan apapun. Artinya sebagai imigran dia aman-aman saja kedudukannya, sehingga tidak perlu disanksi apapun, bahkan bebas muhibbah kesana kemari.
3. Selama masa jabatannya De Graeff aktif mengunjungi Indonesia Timur. Pada tahun 1930 Alkhairaat juga berdiri, dan melebarkan sayapnya ke berbagai daerah di Indonesia Timur lainnya.
Perihal kunjungan kerja dan perhatian Gubernur Jenderal De Graeff ke Indonesia Timur bisa dilihat dari sumber berita ini :
1. Peresmian Jembatan Uwentira oleh A.C.D de Graeff selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 19 September 1927. Proyek prestisius itu dikomandoi oleh Jusuf Radja Tiangso. Sebuah dokumen Onder Afdeeling Paloe menunjukkan gambar jembatan kayu yang berada di Wentira dikerjakan oleh pekerja Tionghoa pada tahun 1933. (https://sulsel.idntimes.com/news/indonesia/kristina-natalia/misteri-kampung-uwentira-di-sulteng-disebut-kerajaan-gaib-terbesar). Jembatan ini berjarak sekitar 50 km dari Palu. Diproyeksikan sebagai Jalur Trans Sulawesi dan pengembangan Perkebunan Kopi di sekitarnya.
2. Pada tanggal 8 September 1927, dari koran “Nieuwsblad van het Noorden. No.211” memberitakan tentang rencana kunjungan Gubernur Jenderal ACD De Graeff bersama 10 orang lainnya ke Makassar, Balikpapan, Donggala, Manado, Tarona, Gorontalo, Ternate, Bacan, Ambon, Banda, Tual, Kupang, Ende dan Bima.
3. Kunjungan ke Donggala (https://www.journastoria.com/2021/11/ketika-gubernur-jenderal-hindia-belanda.html?m=1)
4. Selain itu terdapat pula informasi berita tentang perjalanan A.C.D de Graeff ke Minahasa, Manado, Tomohon pada tanggal 20-23 September 1927 pada surat kabar “Twentsch Dagblad Tubantia en Enschedesche Courant. No.278″ tertanggal 25 November 1927 yang menceritakan mulai dari persiapan penyambutan, hingga penyambutan yang dilakukan secara besar-besaran dan meriah, serta kunjungan ke rumah-rumah ibadah, dan sekolah-sekolah.
5. Kunjungan De Graeff ke TONDANO. Sebuah kota penting tempat makam Kyai Mojo, pengikut dan keturunannya berdomisili.
(https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/911351?solr_nav%5Bid%5D=ec82c7f272576088632a&solr_nav%5Bpage%5D=0&solr_nav%5Boffset%5D=8)
6. Kedatangan de Graeff ke Gorontalo disambut dengan meriah oleh pembesar kerajaan Gorontalo, mulai dari iring-iringan penduduk dengan menggunakan kuda, hiasan-hiasan pada masjid Agung, pembuatan gerbang penyambutan di KAMPUNG ARAB dan Cina. Setelah itu de Graeff mengadakan kunjungan ke daerah yang ada di sekitar Gorontalo.
Sumber :
1. Koran bahasa belanda tertanggal 8 september 1927 Nieuwsblad van het Noordeen
2. Koran bahasa Belanda tertanggal 26 September 1927 Het Vadrland
3. Koran bahasa Belanda tertanggal 25 November 1927 Twentsch Dagblad Tubantia en Enschedesche
(https://museum.gorontaloprov.go.id/gubernur-jenderal-meninggalkan-pelabuhan-gorontalo/)
Selengkapnya bila ingin mengetahui sepak-terjang Gubernur Jenderal ACD De Graeff di Indonesia Timur, silahkan dibuka portal dari perpustakaan Leiden Belanda ini. Disitu lengkap dengan berita dan foto dokumentasinya : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/search/De%20Graeff?type=edismax.
Termasuk hubungan dia dengan SNOUCK HURGRONJE. Sebagaimana kita ketahui bersama atasannya LWC. Van Den Berg, dia adalah penasihat utama dari segala skenario melumpuhkan perjuangan umat Islam di Nusantara. Termasuk mengangkat mufti-mufti Belanda di berbagai kota dari Kaum Ba'alwi Imigran Yaman tersebut.
KESIMPULAN
A.C.D. de Graeff adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa pada masa awal kebangkitan nasionalisme Indonesia. Meskipun dikenal sebagai pejabat kolonial yang moderat dibanding pendahulunya, ia tetap menjalankan kebijakan represif terhadap gerakan nasionalis dan komunis.
Lini masa hidupnya yang berkesesuaian dengan Idrus bin Salim Aljufri adalah faktor penting yang harus dikaji lebih mendalam. Yang jelas setelah dia menjabat tahun 1926, maka di tahun itu pulalah Idrus bin Salim Aljufri memulai pengembaraannya ke Indonesia Timur. Yang kebetulan berkesesuaian pula dengan tahun tahun-tahun kunjungan den keberadaan keduanya di berbagai tempat.
Memang sejarah kebanyakan ditulis oleh para pemenang dan banyak hal yang tidak ingin diungkap ketika pihak yang didukungnya kalah. Apalagi ada bagian dari sejarah yang berbahaya bila diangkat dan tidak menguntungkan, ketika masa sudah berganti maka lebih baik dikubur saja. Bahkan bila perlu demi sebuah penyelamatan dan menghapus aib sejarah, maka perlu dibuat narasi-narasi yang akan menguntungkan dirinya di masa berikutnya. Sebagaimana DN. Aidit tidak diakui sebagai bagian dari Klan Ba'alwi, ataupun upaya narasi berbusa-busa demi membela Usman bin Yahya dan para mufti antek kolonial lainnya, maka sejarah selalu berupaya diperkosa demi keuntungan segelintir orang yang punya aib di masa silam. Namun sejarah tidak berdiri sendiri. Segala upaya untuk menampilkan kisah palsu dan heroik, akan mudah terjawab dengan pertanyaan kritis dan logis yang siapapun bisa menjawabnya dengan mudah.
Hanya, apakah kita akan terus seperti bayi yang menyusui, yang mudah terlelap oleh sebuah dongengan semata. Atau kita memilih untuk segera beranjak dewasa dan mampu bangkit dengan berpikir kritis. Kemudian mulai menyusun keping-keping sejarah untuk dapat memberikan gambaran utuh tentang sebuah arti kehidupan dan kepahlawanan !
Waallahu Alam
Komentar
Posting Komentar