Awas Jebakan Fisik Sekte Tobrut-tobrut





Oleh : Husni Mubarok Al Qudusi


Adalah Gus Dur salah satu Kiai pribumi yang sangat di takuti bahkan selalu difitnah untuk dijatuhkan marwahnya oleh sekte Tobrut-tobrut penyembah berhala nasab asal Hadramaut Yaman. Kalimat "Buta mata dan buta hati" terlontar dari mulut busuk gerombolan ini dan selalu di hembuskan tuduhan dan fitnahan lainnya.


Gus Dur sampai hari ini namanya tetaplah harum serta tak ada hentinya para peziarah datang ke makamnya untuk dipanjatkan doa kepadanya. Sedang gerombolan mereka yang selalu memfitnahnya hari ini segala kebohonganya di buka secara terang benderang hingga digelari sebagai klan pembohong umat Islam di Nusantara bahkan Dunia. Klaimnya sebagai dzuriyah Nabi SAW tidak bisa di buktikan oleh mereka, dari sejumlah pertanyaan publik.


Lalu kenapa Gus Dur selalu di musuhi oleh mereka?? Karena Gus Dur mengajarkan bahwa Islam dan budaya Arab itu sesuatu yang berbeda serta ajaran kesetaraan dan hanya yang bertaqwalah yang akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT, faham ini sangat berbanding terbalik dengan sekte Tobrut-tobrut asal Hadramau Yaman yang menganggap Islam itu selalu serba Arab juga rasisme dalam beragama dengan meyakini hanya golongannyalah yang di jamin masuk surga diluar mereka tidak setara dan wajib menjadi budaknya.


Berikut ini adalah ulasan dari salah satu ajaran Gus Dur yang dapat membentengi kita dari jebakan fisik dari sekte Tobrut-tobrut,


“Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya arab, bukan untuk “aku” jadi “ana” bukan “sampean” jadi “antum”, “sedulur” jadi “akhi”. Pertahankan apa yang jadi milik kita, kita harus serap ajarannya bukan budaya Arabnya.” (KH. Abdurrahman Wahid)


Salah satu kekeliruan yang sering terjadi adalah kecenderungan untuk mengadopsi budaya Arab secara keseluruhan sebagai bagian dari praktik keagamaan.


Sebagai contoh, penggunaan bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari dianggap lebih islami, padahal esensi dari ajaran Islam tidak terletak pada bahasa yang digunakan, melainkan pada makna dan nilai yang dibawa. Dalam keseharian, banyak orang yang mulai menggantikan kata “aku” dengan “ana”, “sampean” dengan “antum”, atau “sedulur” dengan “akhi”. Perubahan-perubahan ini sering kali dilakukan dengan anggapan bahwa hal tersebut lebih sesuai dengan ajaran Islam, padahal yang lebih penting adalah bagaimana kita memahami dan mengamalkan ajarannya.


Islam datang dengan misi untuk membawa rahmat bagi seluruh alam, bukan untuk mendominasi atau menghapuskan budaya yang sudah ada. Ketika Islam masuk ke suatu wilayah, yang terjadi bukanlah penghapusan budaya lokal, melainkan proses akulturasi.


Budaya lokal diwarnai oleh nilai-nilai Islam, tetapi tetap mempertahankan identitasnya. Proses ini dapat dilihat dalam sejarah penyebaran Islam di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia yang dibawa oleh Walisongo. Islam diterima dengan baik karena mampu beradaptasi dengan budaya lokal tanpa memaksa perubahan yang drastis.


KH. Abdurrahman Wahid, atau yang lebih akrab disapa Gus Dur, adalah sosok ulama besar yang garis nasabnya menyambung ke Walisongo, beliau selalu menekankan pentingnya menjaga identitas budaya lokal dalam menjalankan ajaran Islam.


Salah satu petuahnya yang paling terkenal mengingatkan kita bahwa Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita menjadi budaya Arab. Beliau menegaskan bahwa kita harus menyerap ajarannya, bukan budayanya.


Gus Dur mengajak kita untuk memahami esensi Islam secara mendalam. Ajaran Islam adalah tentang ketauhidan, keadilan, kasih sayang, dan kemanusiaan. Nilai-nilai universal ini dapat diterapkan dalam berbagai konteks budaya tanpa harus mengubah identitas budaya lokal. Beliau sangat memahami bahwa setiap masyarakat memiliki kekayaan budaya yang unik dan berharga. Kekayaan ini tidak seharusnya dihapus atau diubah hanya karena ada pemahaman bahwa segala sesuatu yang datang dari Arab adalah yang paling benar dalam Islam.


Gus Dur mengingatkan kita bahwa mempertahankan budaya lokal bukanlah sebuah dosa. Bahkan, itu adalah bentuk penghargaan terhadap identitas kita sebagai sebuah bangsa. Dalam konteks Indonesia, budaya Jawa, Sunda, Minangkabau, Bugis, dan berbagai budaya lainnya adalah bagian dari kekayaan yang harus kita jaga. Islam harus menjadi cahaya yang menerangi budaya ini, bukan menjadi alat untuk menghapusnya. Budaya lokal ini memiliki nilai-nilai luhur yang bisa selaras dengan ajaran Islam jika kita memahami esensinya.


Lebih dari sekadar aspek bahasa, Gus Dur juga menekankan pentingnya mempertahankan adat dan tradisi yang sudah ada. Selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, maka tradisi itu bisa dipertahankan dan dilestarikan. Misalnya, dalam adat Jawa dikenal adanya tradisi slametan atau syukuran. Tradisi ini bisa dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan rasa syukur kepada Allah SWT dan mempererat silaturahmi antarwarga. Dengan begitu, tradisi lokal tidak hanya dipertahankan tetapi juga diberi makna islami yang lebih dalam.


Sikap moderat yang diajarkan oleh Gus Dur juga mencerminkan semangat pluralisme dan toleransi. Islam harus bisa hidup berdampingan dengan budaya dan agama lain yang ada di sekitar kita. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian dan rahmat bagi semua. Dalam konteks Indonesia yang sangat majemuk, sikap ini sangat penting untuk menjaga kerukunan dan persatuan. Menjadi seorang Muslim yang baik tidak harus berarti mengubah semua aspek kehidupan menjadi serba Arab, tetapi bagaimana kita bisa menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari tanpa kehilangan jati diri budaya kita.


Menghormati dan mempertahankan budaya lokal juga berarti kita menghargai para leluhur yang telah mewariskan budaya tersebut. Kita tidak boleh melupakan sejarah dan asal-usul kita hanya karena ada pandangan bahwa segala sesuatu yang berasal dari Arab adalah yang terbaik. Setiap budaya memiliki nilai dan kearifan lokal yang bisa kita pelajari dan ambil hikmahnya. Islam justru mengajarkan kita untuk menghormati para leluhur dan menjaga warisan mereka selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.


Pesan yang disampaikan oleh Gus Dur ini sangat relevan di tengah arus globalisasi yang sering kali membawa pengaruh yang tidak seimbang. Di satu sisi, globalisasi membuka pintu bagi kita untuk belajar dari berbagai budaya dan tradisi lain. Di sisi lain, ada risiko homogenisasi budaya yang bisa mengikis identitas lokal kita. Dalam konteks ini, pesan Gus Dur menjadi pengingat bahwa kita harus bijak dalam menyikapi pengaruh luar. Kita harus bisa memilah dan memilih mana yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai kita, tanpa harus kehilangan jati diri.


Waallahu Alam 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HABIB BA'ALWI, KAUM PENGECUT DI HARI PAHLAWAN

Taktik Ba'alwi Dilumat Sang Mujaddid