Bahaya...!!! Agama Sebagai Komoditas




Oleh : Husni Mubarok Al Qudusi


Akankah Pancasila sebagai dasar negara yang sudah terbukti dalam bentangan sejarah mampu mempersatukan seluruh elemen bangsa untuk dapat mengatasi efek-efek destruktif dari kapitalisasi agama?


Banyak pihak menyebut dunia saat ini mengarah pada menguatnya arus konservatisme. Salah satu indikatornya, setiap warga ingin disebut 'religius'. Bahkan kelompok sekte rasis yang merasa memiliki nasab mulia naik diatas podium untuk menyebarkan ajaran sesatnya.


Kajian ini mematahkan argumen sekularisasi yang selama ini dianggap sebagai konsekuensi demokratisasi. Namun, faktanya tidak demikian, demokratisasi justru melahirkan masyarakat yang ingin diidentifikasi religius walau dengan jalan instan.


Masyarakat justru mengalami desekularisasi. Agama masih menjadi sebuah identitas yang penting dalam ruang publik. Tidak ayal jika agama menjadi salah satu pemantik yang penting dalam semua hiruk pikuk gemuruhnya suara mesin politik.


Isu agama dan SARA pada umumnya menjadi salah satu isu sentral, bahkan menenggelamkan program-program yang semestinya menjadi agenda prioritas dalam perdebatan ruang publik.


Bahwa kecenderungan global tidak terkecuali kawasan Asia mengarah pada kuatnya arus konservatisme. Hal tersebut sejalan dengan fenomena agama sebagai komoditas.


Segala hal yang terkait dengan agama semakin laris manis di pasar. Pakaian, kitab suci, musik, ritual, ziarah, dan lain-lain menjadi komoditas yang menarik. Konon, omzet yang didapatkan dari komoditas agama mencapai triliunan. Bahkan menipu umat mengatasnamakan dzuriyah Nabi untuk mengeruk keuntungan sangatlah marak, fenomena ini sebelum munculnya tesis KH Imaduddin Utsman Al Bantani tantang tidak tersambungnya Nasab Klan Ba'alwi ke Nabi SAW.


Haji dan umrah saja setiap tahunnya bisa mencapai puluhan triliun bahkan lebih, belum lagi penjualan buku-buku, hijab, tasbih, dan lain-lain, yang angkanya sangat fantastis.


Agama sebagai komoditas telah menjadi identitas yang bisa dikonversi sebagai instrumen untuk mendulang dukungan politik. Faktanya, komodifikasi agama berkaitkelindan dengan kepentingan politik.


Lihat fenomena demonstrasi 212 yang kemudian bermetamorfosis menjadi basis penguatan ekonomi melalui pendirian koperasi 212. Namun pada akhirnya layu sebelum berkembang dan hilang ditelan sejarah, juga terkuaknya kejahatan dari gerakan Klan Ba'alwi yang merusak tatanan dalam beragama dan berbangsa serta bernegara. Ia mengkastakan umat selainnya di anggap rendah, memalsukan dan membelokan kesejarahan bangsa serta meyamanisasi semua milik pribumi.


Sulit rasanya untuk melihat apa yang selama ini dipersepsikan sebagai 'membela agama' benar-benar ingin menggali nilai-nilai luhur dan mengamalkannya dalam realitas kehidupan.


Tarikan agama sebagai komoditas menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan karena pada dirinya mereka sedang ingin mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari agama.


Maka dari itu, perlu pandangan kritis untuk melihat fenomena kapitalisasi agama yang membodohkan umat. Persekongkolan di antara mereka yang ingin mendapatkan keuntungan secara materi dan politik dari agama akan membawa dampak-dampak yang sangat destruktif.


Pertama, agama akan hilang identitasnya sebagai sumber kasih dan damai. Dalam logika kapitalisme dan politik, yang terjadi ialah pertarungan untuk mendapatkan keuntungan dan perebutan kekuasaan.


Bahkan, jika perlu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Di sini, agama yang di dalamnya mengajarkan hidup damai dan saling menghormati akan terjebak dalam tafsir tunggal melalui fatwa-fatwa keagamaan yang ekstrem.


Di saat paham keagamaan yang diproduksi melalui fatwa dan ceramah-ceramah sangat menyeramkan dan menakutkan. Munculnya kelompok pemegang kunci sorga yang memonopoli kebenaran, seolah-olah hanya pandangan mereka yang benar, sedangkan pandangan pihak lain salah.


Padahal, agama menyediakan ruang tafsir yang sangat terbuka dengan catatan setiap tafsir mampu membawa kemaslahatan bersama.


Kedua, agama akan menjadi semakin ekstrem dan kehilangan daya moderasinya. Agama yang hanya dijadikan sebagai komoditas ekonomi dan politik akan melahirkan pandangan-pandangan yang ekstrem.


Lihat tafsir terhadap kafir dan munafik yang berkembang di permukaan. Mereka cenderung menggunakan tafsir terhadap kafir dan munafik secara serampangan tanpa mempertimbangkan konteks dari turunnya ayat suci dan hadis, misalnya.


Dalam hal ini, yang diuntungkan ialah kalangan ekstremis yang selama ini memang mengomsumsi pandangan keagamaan yang kaku dan rigid. Dalam suasana normal, paham mereka cenderung ditolak mayoritas muslim di Tanah Air yang mempunyai pandangan moderat.


Namun, dalam suasana hiruk-pikuk politik yang di dalamnya terdapat kontestasi perebutan kekuasaan, pandangan mereka yang diproduksi secara kontinyu dapat dipersepsikan publik sebagai sebuah kebenaran.


Ketiga, agama akan kehilangan identitasnya sebagai entitas yang mampu membangun persaudaraan (ukhuwah). Komodifikasi agama telah terbukti memecah belah umat, sekat klanisme muncul.


Ironisnya, perpecahan di antara sesama umat di dalam intraagama. Situsi ini sangat tidak kondusif karena belajar dari sejarah, perpecahan di antara sesama umat akan melahirkan luka dan duka yang sangat mendalam.


Lihat misalnya konflik antara Sunni dan Syiah yang umurnya sudah berabad-abad. Hal tersebut sangat terkait dengan komodifikasi agama. Pada puncaknya, komodifikasi agama akan memecah belah bangsa.


Agama yang semestinya memecut kita untuk saling menghormati dan saling menghargai antarsesama akan terjerambap dalam kubangan kebencian, kecurigaan, bahkan kekerasan dan diskriminasi. Diperparah ada segolongan yang merasa dirinya bernasab paling mulia lalu merendahkan lainnya.


Sebelum terlambat, kapitalisasi agama yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur agama harus dikritisi dan diluruskan kembali agar memerankan agama sebagai jalan kemanusiaan.


Dorongan untuk semakin religius pada hakikatnya merupakan fenomena yang baik karena setiap agama mengajarkan kebajikan. Bagi mereka yang benar-benar mampu memahami agama dengan baik, hal tersebut akan mampu membangun karakter yang kuat bagi dirinya.


Para Kiai dan Santri mampu menyerap nilai-nilai luhur agama sehingga dapat menjadikan agama sebagai pembebasan dan kemanusiaan. Misalnya, mereka telah mampu menjadikan Surat Al-Ma'un sebagai pijakan ideologis bahwa beragama sesungguhnya membebaskan anak-anak yatim dan menyantuni fakir miskin.


Karena itu, banyak dibangun pondok pesantren, sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi, dan rumah sakit untuk mengobati orang-orang miskin. Serta digalakan majlis ilmu dan dzikir di tiap mushola dan masjid.


Paham keagamaan yang ditawarkan yaitu Islam yang mampu membangun rasionalitas dan berbakti sepenuhnya pada kemanusiaan. Kiai dan Santri telah menjadi kekuatan garda terdepan untuk menjaga Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Namun, perkembangan mutakhir, khususnya apa yang terjadi sekarang ini, seakan mengetuk nalar dan hati nurani kita semua bahwa negeri ini sedang menghadapi ancaman radikalisme dan konservatisme. Di buktikan masih adanya Klan Ba'alwi keturunan Tarim Hadramaut Yaman yang tidak mau menjadi umat Islam pada umumnya, ia dengan berbagai cara dan upaya dengan jalan kekerasan sekalipun untuk mempertahankan nasabnya agar mendapatkan pengakuan padahal sudah rungkad secara ilmu.


Kapitalisasi agama merupakan fenomena global yang tidak dielakkan. Akan tetapi, setiap negara harus mempunyai strategi untuk menghadapinya. Semua pihak harus sadar dan waspada agar tidak melihat fenomena kapitalisasi agama sebagai taken for granted.


Negara-negara Timur Tengah sudah mencapai fase kehancuran karena mereka menggunakan agama untuk menebarkan kebencian dan kecurigaan.


Kita tidak boleh lengah dan harus bersatu padu untuk menghadirkan wajah agama yang humanis, toleran, dan damai. Kita percaya dengan apa yang disampaikan KH Mustofa Bisri bahwa mayoritas muslim di negeri ini moderat dan hanya sedikit yang radikal dan ekstrem.


Pemerintah harus tegas menindak pihak-pihak yang terbukti menebarkan ujaran kebencian dan politisasi isu SARA. Kelompok-kelompok moderat harus lebih lantang lagi bersuara agar gaung moderasi Islam terus menggema.


Kesetaraan adalah kunci dalam beragama serta hidup berbagsa dan bernegara, oleh karena itu tidak boleh ada lagi ajaran rasisme yang didalili yang merasa dirinya paling unggul karena alasan nasab.


Waallahu Alam 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HABIB BA'ALWI, KAUM PENGECUT DI HARI PAHLAWAN

Awas Jebakan Fisik Sekte Tobrut-tobrut

Mengapa Hasil Penelitian KH Imaduddin yang Penting, Bukan Siapa Beliau