Perbedaan Penafsiran Sejarah Islam dan Implikasinnya



Dalam sejarah peradaban Islam, banyak muncul aliran-aliran yang sering kali saling bertentangan. Ironisnya, pertentangan ini tidak hanya berkisar pada perbedaan pendapat atau adu argumentasi, tetapi sering kali berujung pada persekusi dan pertumpahan darah. Salah satu contoh tragis adalah pembunuhan Ali bin Abi Thalib RA, sepupu sekaligus sahabat Nabi Muhammad SAW, yang menjadi korban dari perbedaan penafsiran dalam Islam oleh kaum Khawarij.


Contoh lain adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang dipenjara dan disiksa akibat perbedaan tafsir oleh kaum Mu'tazilah pada masa Khalifah Al-Ma'mun dalam peristiwa Mihnah.


Konflik Sunni-Syiah juga merupakan contoh nyata dari perbedaan penafsiran yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik, terutama pada masa Kekhalifahan Muawiyah dan Abbasiyah. Pada masa itu, ayat Al-Qur'an sering dijadikan alat legitimasi untuk menyingkirkan lawan politik.


Terdapat sebuah hadits Nabi yang mengingatkan bahwa kelak akan ada perbedaan tafsir dalam Islam, namun yang selamat hanya satu golongan, yaitu mereka yang menyadari bahwa perbedaan itu suatu keniscayaan tanpa harus kehilangan substansi Islam, yaitu rendah hati, bijaksana, damai, hormat, dan penuh kasih kepada sesama. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Thabrani:


"افترقت اليهود على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة، وافترقت النصارى على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة، وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة، الناجية منها واحدة والباقون هلكى. قيل: ومن الناجية؟ قال: أهل السنة والجماعة. قيل: وما السنة والجماعة؟ قال: ما أنا عليه اليوم وأصحابي"


“Umat Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan umat Nasrani terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku (kaum Muslimin) akan terpecah menjadi 73 golongan. Yang selamat darinya hanya satu golongan dan yang lainnya celaka. Ditanyakan, 'Siapakah yang selamat itu?' Rasulullah SAW menjawab, 'Ahlusunnah wal Jama'ah'. Dan kemudian ditanyakan lagi, 'Apakah Ahlusunnah wal Jama'ah itu?' Beliau menjawab, 'Apa yang aku berada di atasnya, hari ini, dan beserta para sahabatku.'”


Perpecahan tersebut adalah akibat dari perbedaan perspektif dalam penafsiran terhadap Al-Qur'an dan hadits. Namun, semua tetap akan selamat asalkan tidak kehilangan substansi keislaman, yaitu tauhid dan rahmat untuk seluruh alam. Hadits ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita untuk menyadari bahwa Nabi Muhammad SAW pun sudah meramalkan umat Islam akan kaya dengan sudut pandang, dan hanya satu umat yang selamat yaitu umat yang apapun sudut pandang dan tindakannya selalu berbuah kebaikan demi kedamaian, kerahmatan, dan kasih sayang untuk seluruh alam.


Hal ini makin dikuatkan oleh hadits Nabi Muhammad SAW:


حَدَّثَنَا أَبُو بَكْر مُحَمَّد بْن عُثْمَان الصيدلاني حَدَّثَنَا أَحْمَد بْن دَاوُد السجسْتانِي حَدَّثَنَا عُثْمَان بْن عَفَّان الْقُرَشِيّ أَنْبَأنَا أَبُو إِسْمَاعِيل الْأَيْلِي حَفْص بْن عُمَر عَن مسعر عَن سعد بْن سَعِيد عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوعا: تَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى بضع وَسبعين فرقة كلهَا فِي الْجَنَّةِ إِلَّا الزَّنَادِقَة


Artinya: "Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Usman, telah menceritakan kepada kami Ahmad Bin Dawud, telah menceritakan kepada kami Usman Bin Affan, telah memberitahu kepada kami Abu Ismail Al Aili Hafs Ibnu Umar dari Mus'ar dari Sa'id bin Sa'id dari Anas secara marfu. Umatku akan terpecah menjadi 70 lebih golongan, mereka semua ada dalam syurga kecuali orang zindiq."


Hadits ini terdapat dalam kitab Faishal al-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah karya Imam Al Ghazali.


Ditinjau dari artinya, banyak yang menganggap hadits ini bertentangan dengan hadits yang masyhur di atas karena hadits yang masyhur itu mengatakan "mereka semua berada di Neraka kecuali satu," bukan "mereka semua berada di syurga kecuali orang zindiq." Padahal, sebenarnya kedua hadits tersebut saling mendukung satu sama lain. Yang pertama mengatakan semua golongan yang berbeda akan masuk neraka kecuali satu yaitu umat yang konsisten dengan substansi nilai-nilai luhur Islam (Ahlusunnah wal Jamaah), sedang yang kedua mengatakan semua selamat kecuali satu yaitu orang atau umat yang zindiq. Secara substansi, kedua hadits di atas sama-sama mengatakan yang tidak konsisten dengan nilai-nilai luhur Islam lah yang celaka.


Namun sayangnya, kedua hadits ini sering disalahartikan sebagai pembenaran bahwa golongan tertentu yang paling benar dan selamat, sedangkan yang lain sesat. Akibatnya, terjadi saling tuding kesesatan dan merasa paling benar.


Seluruh umat Islam sepakat bahwa Al-Qur'an dan hadits adalah mutlak kebenarannya, namun kemutlakan tersebut hanya ada pada Allah dan Nabi Muhammad SAW. Maka selepas Nabi wafat, perspektif siapapun tentang ayat atau hadits adalah tafsir yang harus disertai dengan kalimat "Wallahu a'lam bishawab" (Allah yang Maha tahu kebenarannya) yang berarti kebenarannya tidaklah mutlak.


Nabi Muhammad SAW sendiri sangat menghargai perbedaan. Beliau tidak memaksakan agamanya pada pamannya sendiri, Abu Thalib. Juga, Nabi Muhammad SAW pernah mempersilahkan rombongan orang Nasrani untuk beribadah ritual di Masjid Nabawi dan pada Piagam Madinah dengan jelas Nabi Muhammad melarang untuk mengganggu agama lain sesama penduduk Madinah bahkan memerintahkan untuk membantu umat agama lain Yahudi atau Nasrani dalam pembangunan rumah ibadah.


Perbedaan tafsir juga terjadi pada masa Sahabat seperti perbedaan antara Abu Bakar dan Umar Ibn Khattab dalam pengkodifikasian Al-Qur'an. Abu Bakar merasa tidak perlu karena semasa Nabi Muhammad hidup tidak memerintahkannya, sementara menurut Umar Ibn Khattab, pengkodifikasian Al-Qur'an perlu dilakukan demi kelestarian Al-Qur'an di masa depan, mengingat banyaknya para penghafal Al-Qur'an yang syahid di medan perang.


Para imam madzhab pun sering berbeda pendapat dalam memaknai ayat dan hadits, seperti yang terjadi pada keempat madzhab yang ada di Indonesia. Hal seperti itu wajar saja karena penafsiran selalu dipengaruhi oleh konteks waktu, tempat, dan alasan penafsiran itu terjadi.


Yang harus dipahami adalah bahwa perbedaan pendapat dalam madzhab atau dalam pemikiran adalah hal yang boleh terjadi. Yang tidak boleh adalah memutlakkan sebuah tafsir sebagai kebenaran mutlak. Maka maksud perpecahan yang diramalkan oleh Nabi Muhammad SAW menjadi 73 golongan, namun yang selamat hanya satu, seharusnya tidak bermakna negatif. Justru itu positif, yang artinya Islam dan tafsirnya akan selalu menyesuaikan tempat dan zaman namun akan selalu berpegang pada sunnah Nabi. Secara substansi, kita harus selalu berpegang pada kebaikan, kebijaksanaan, kejujuran, kecerdasan, amanah, penghormatan, kesatria, kasih sayang pada sesama, penuh damai dan keselamatan untuk semua manusia. Inilah makna Ahlusunnah wal Jamaah yang sesungguhnya.


Maka setiap orang atau golongan yang selalu mengikuti sunnah Nabi demi keselamatan dan perdamaian sesama umat manusia, walaupun berbeda dalam tafsir agama, adalah satu golongan yang selamat. Bila perpecahan tersebut mengakibatkan pertikaian, maka letak akar masalahnya bukan pada perbedaan tafsir ayat dan hadits, tetapi pada pemutlakan kebenarannya dan ketidakmampuan menyikapi perbedaan itu hingga terjadi pertikaian karena berebut kebenaran.


Tentu saja berbeda antara perbedaan dan penyimpangan. Jika ayat Al-Qur'an dan hadits ditafsirkan untuk kepentingan pribadi atau golongan sampai hilang atau menghilangkan substansi kebaikan, kebijaksanaan, kerendahhatian, dan kerahmatan, maka itu bukanlah perbedaan tetapi penyimpangan dan keluar dari Islam yang berarti sebuah kesesatan.


Kita semua harus mampu mengambil pelajaran dari sejarah masa lalu agar pertikaian dan peperangan hanya karena beda sudut pandang dalam agama dan keyakinan tidak terulang lagi.


Marilah kita sadari bahwa bukti kebenaran agama atau keyakinan kita bukan karena agama atau keyakinan orang lain salah, tapi sejauh mana kita bisa membuktikan kerahmatan dan kemanfaatan kita untuk sesama dan seluruh alam. Mari berfastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan.


Wallahu a'lam bishawab.


Oleh : Kiai Slamet Sukamto, LD MWC NU Pemalang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Taktik Ba'alwi Dilumat Sang Mujaddid

Mengatakan Ba'alwi Asal Yaman Keturunan Yahudi Bukan Takfiri

Hukum Menentukan Makam Berdasar Spiritual